Jumat 21 Jul 2023 17:40 WIB

Polisi: Korban Perdagangan Orang Suka Rela Jual Ginjal Akibat Pandemi Covid-19

Menurut polisi, para korban terhimpit ekonomi saat pandemi hingga menjual ginjalnya.

Rep: Ali Mansur, Ali Yusuf/ Red: Andri Saubani
Polda Metro Jaya telah menetapkan sebanyak 12 orang sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus penjulan organ tubuh ginjal. Dua diantaranya merupakan oknum kepolisian dan imigrasi, Kamis (20/7/2023).
Foto: Republika/Alli Mansur
Polda Metro Jaya telah menetapkan sebanyak 12 orang sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus penjulan organ tubuh ginjal. Dua diantaranya merupakan oknum kepolisian dan imigrasi, Kamis (20/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polda Metro Jaya menyampaikan bahwa para korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) secara sukarela menjual bagian organ tubuhnya yaitu ginjal. Hal itu dilakukan lantaran para korban membutuhkan uang akibat himpitan ekonomi, dampak dari pandemi Covid-19. 

"Sukarela (menjual ginjalnya). Bermotif ekonomi sebagai dampak dari pandemi, sebagian besar kehilangan pekerjaan dan sebagainya,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi dalam keterangannya kepada awak media, Jumat (21/7/2023).

Baca Juga

Selain itu, Hengki memastikan tidak ada tindakan kekerasan atau penyiksaan kepada korban TPPO dengan modus jual ginjal. Kemudian meski tidak ada paksaan, perbuatan menjual ginjal dengan motif ekonomi tidak dibenarkan oleh undang-undang. Sehingga perbuatan tersebut dianggap melanggar pidana dan termasuk ke dalam kasus TPPO.

"Dalam pengertian eksploitasi dalam UU TPPO itu dengan persetujuan atau tanpa persetujuan itu termasuk dalam klausul TPPO," terang Hengki. 

Dalam kasus ini, sebanyak 122 orang telah menjadi korban dan ginjal milik korban dijual dengan harga Rp 200 juta. Ginjal para korban diambil di rumah sakit militer Preah Ket Mealea yang terletak di wilayah Phnom Penh, ibukota Kamboja. Rumah sakit militer tersebut dibawah kendali pemerintah Kamboja.

"Para sindikat Indonesia terima pembayaran Rp 200 juta, (lalu) Rp 135 juta dibayar ke pendonor. Sindikat terima Rp 65 juta perorang dipotong ongkos operasional pembuatan paspor, naik angkutan dari bandar ke rumah dan dan sebagainya," jelas Hengki. 

Menurut Hengki, total omzet yang didapat para sindikat sejak tahun 2019 sampai dengan tahun 2023 sebesar Rp 24,4 milyar. Angka tersebut didapat dari hasil penjualan ginjal sebanyak 122 korban. Latar belakang dari para korban cukup bervariasi mulai dari pedagang, guru hingga ada yang lulusan strata 2 atau S2 di perguruan tinggi terkemuka.  

"Para pelaku memanfaatkan posisi rentan para korban yang umumnya kesulitan secara finansial dan mengeksploitasi korban demi memperoleh keuntungan. Para korban dijanjikan diberi uang Rp 135 apabila berhasil mendonorkan ginjalnya," kata Hengki.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement