Selasa 18 Jul 2023 15:02 WIB

Kisruh UKT, Kemendikbud: Orang Tua Lebih Memikirkan Membelikan Motor daripada Biaya Kuliah

Kemendikbud menilai kesadaran masyarakat masih rendah dalam hal investasi pendidikan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam (kiri) dan Menteri Pendidikan Tinggi Malaysia Mohamed Khaled Nordin (tengah) dalam sesi konferensi pers di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Pusat, Selasa (18/7/2023).
Foto: Republika/Ronggo Astungkoro
Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam (kiri) dan Menteri Pendidikan Tinggi Malaysia Mohamed Khaled Nordin (tengah) dalam sesi konferensi pers di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Pusat, Selasa (18/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menampik anggapan yang menyebut penentuan uang kuliah tunggal (UKT) tidak transparan. Penentuan kategori UKT bagi seorang mahasiswa dilakukan berdasarkan kemampuan orang tua atau wali mereka. Di mana, UKT yang besar diperuntukkan bagi mereka yang memang berpunya. 

“Biaya untuk menghasilkan seorang sarjana hukum, sarjana teknik, menghasilkan dokter itu sudah dihitung betul. Itu transparan karena kita hitung benar-benar biayanya. Biaya UKT itu harus ada di bawah itu. Jadi sudah jelas, UKT itu tidak sembarangan,” jelas Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam, saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa (18/7/2023).

Baca Juga

Terkait dengan penentuan kategori UKT bagi seorang mahasiswa, Nizam menjelaskan, itu ditentukan dengan melihat kemampuan orang tua. Menurut dia, saat ini masyarakat Indonesia sudah mulai banyak yang masuk ke kelompok ekonomi menengah ke atas. Kelompok itulah yang hendak didorong untuk mau ‘berinvestasi’ di bidang pendidikan untuk putra-putrinya dengan membayar sesuai kemampuan.

“Sekarang ini kan masyarakat Indonesia sudah mulai banyak kelompok menengah ke atas. Nah, itu kita dorong untuk mereka mau berinvestasi untuk putra-putrinya. Membayar sesuai dengan kemampuannya,” jelas dia.

Nizam berpandangan, masyarakat Indonesia masih belum mempunyai kesadaran yang cukup tinggi untuk berinvestasi di pendidikan. Orang tua, kata dia, masih lebih memikirkan hal-hal yang berada di luar pendidikan ketika anaknya masuk ke perguruan tinggi seperti salah satunya kendaraan bermotor untuk sang anak kuliah.

“Sayang memang masyarakat Indonesia ini, mohon maaf ini bukan mengkritik, tapi untuk refleksi kita, kita itu masih belum punya kesadaran yang cukup tinggi untuk berinvestasi di pendidikan. Orang tua masih lebih memikirkan bagaimana nanti kalau anaknya diterima di perguruan tinggi itu membelikan motor daripada membiayai nanti kuliahnya,” kata dia.

 

Padahal, kata dia, UKT tergolong kecil jika seseorang mendapatkan UKT kategori 1 senilai Rp 500 ribu per semester. Untuk UKT yang besar, kata dia, diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang berpunya seperti anak konglomerat, anak direktur, dan sebagainya. Jadi, menurut Nizam, penentuan UKT benar-benar akan disesuaikan dengan kemampuan orang tua atua wali mahasiswa. 

“Kalau ada yang tinggi itu kan yang kelompok yang memang berpunya ya. Konglomerat, direktur-direktur, BUMN dan sebagainya itu kan ya layak untuk membayar sesuai dengan kemampuan. Dan itu pun masih di bawah standar pembiayaan yang seharusnya. Jadi transparansi jelas ada di sana,” jelas Nizam.

Jika kemudian dalam prosesnya ada mahasiswa yang merasa orang tuanya tak mampu untuk membayar UKT sesuai kategori yang dia dapatkan, maka dapat mengajukan keberatan kepada pihak kampus dengan metode yang sudah disediakan masing-masing kampus. Apabila dari pengajuan keberatan itu gagal, maka bisa melaporkannya ke kementerian.

 

“Tentu perguruan tinggi ada cara menangani appeal (banding) tersebut. Kalau itu gagal, tetap bisa melapor ke kementerian. Pasti nanti kita juga akan advokasi. Akan kita lihat, benar apa tidak,” tutur dia.

Nizam sudah mengingatkan perguruan tinggi negeri (PTN) untuk tidak melanggar prinsip pendidikan tinggi, yakni tak boleh ada mahasiswa yang berpotensi untuk belajar tapi tak bisa kuliah karena tidak bisa membayar uang kuliah. Apabila ada calon mahasiswa yang dipaksa untuk membayar uang kuliah dengan nominal tertentu, maka dapat melaporkannya untuk ditindaklanjuti.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement