Sabtu 15 Jul 2023 12:05 WIB

Pakar: Pembatasan Masa Jabatan Ketum Supaya Partai tidak Seperti Perusahaan Keluarga

Saat ini, terdapat dua permohonan uji materi UU Partai Politik di MK.

Rep: Febryan A/ Red: Andri Saubani
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari.
Foto: Republika/Prayogi
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, setuju Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan membatasi masa jabatan ketua umum partai politik (ketum parpol). Pembatasan akan menghentikan praktik politik dinasti dalam kepengurusan parpol. 

"Sebelum ada pembatasan masa jabatan ketum partai, selamanya di Indonesia tidak ada partai. Yang ada itu adalah perusahaan keluarga bernama partai," ujar Feri kepada wartawan, Sabtu (15/7/2023). 

Baca Juga

Menurut Feri, tidak adanya pasal yang membatasi masa jabatan ketum parpol dalam UU Partai Politik terbukti telah memunculkan ketum yang menjabat selama puluhan tahun. Panjangnya masa jabatan itu lah yang menjadi cikal bakal politik dinasti. 

"Ketum partai sudah tiga puluh tahun enggak ganti-ganti, nanti kalau berganti anaknya lagi. Jadi ini bukan lagi soal dinasti keluarga. Ini partai yang mirip perusahaan, ada CEO-nya," kata Feri. 

Feri berpendapat, ketika MK memutuskan membatasi masa jabatan ketum parpol, itu bukan berarti negara mengintervensi parpol. Saat ini, UU Partai Politik menyerahkan kepada masing-masing parpol untuk mengatur masa jabatan ketum lewat AD/ART. 

"Sebagai turunan dari UUD, undang-undang itu kan sumbu yang menentukan apakah sebuah aturan itu konstitusional atau tidak. Kalau undang-undang mengatur pembatasan, maka AD/ART parpol harus mengikutinya," ujarnya. 

Saat ini, terdapat dua permohonan uji materi atas UU Partai Politik di MK. Kedua permohonan itu sama-sama meminta MK membatasi masa jabatan ketum parpol maksimal 10 tahun. 

Dalam kedua permohonan itu, mereka sama-sama menyoroti ketum parpol yang menjabat begitu lama dan praktik politik dinasti. Mereka menyoroti Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang sudah menjadi ketum selama 24 tahun. 

Selain dipimpin Megawati hampir seperempat abad, sejumlah posisi strategis di partai berlogo banteng itu juga diduduki anaknya. Salah satunya adalah Puan Maharani sebagai Ketua DPP Bidang Politik. 

Para penggugat juga menyoroti praktik politik dinasti di kepengurusan Partai Demokrat. Eks Ketua Umum Partai Demokrat Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewariskan tampuk kepemimpinan kepada putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Posisi Wakil Ketua Umum Demokrat diduduki oleh putra keduanya, Edhie Baskoro Yudhoyono. SBY sendiri kini masih berkuasa dengan jabatan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. 

Mereka  juga mendalilkan bahwa begitu lamanya seseorang menjabat sebagai ketum parpol terbukti telah menimbulkan otoritarianisme. Mereka kembali menjadikan PDIP sebagai contoh karena Megawati punya kendali yang kuat terhadap anggota DPR RI Fraksi PDIP. 

Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP, Bambang Wuryanto mengkritik gugatan tersebut. "Itu yang melakukan JR (judicial review) itu orang salah makan obat, gitu loh. Bahwa setiap parpol punya AD/ART, itu dijamin undang-undang," ujar Bambang di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (5/7/2023).

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement