REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Bivitri Susanti menyoroti partai politik yang sangat gencar berkomunikasi dengan warga menjelang Pemilihan Umum (Pemilu). Namun demikian, saat musim Pemilu telah berlalu, Parpol tidak lagi melibatkan warga dalam berbagai kebijakan yang berkaitan dengan publik.
"Karena partai politik itu putus hubungan dengn kita, sangat-sangat jarang bahkan saya mau bilang nggak ada partai politik yang terus-menerus berkomunikasi dengan kita warga biasa di luar Pemilu. Kecuali kalau kita elite, tetapi sangat jarang partai politik yang tetap mau blusukan ke kampung-kampung kalau bukan zaman-zaman Pemilu," ujar Bivitri dalam Diskusi Publik: Mengajak warga “cawe-cawe” isu publik menuju 2024 yang digelar virtual, Selasa (11/7/2023).
Bivitri pun menilai saat ini partisipasi publik sangat minim disertakan meskipun Indonesia merupakan negara demokrasi. Menurut dia, kursi rakyat di Indonesia saat ini dilihat sebagai kekuasaan bukan sebagai keterwakilan. Sehingga, saluran politik formal warga pada wakilnya itu seperti keblok atau tertutup.
"Karena partai politik itu ternyata dikuasai oleh kartel politik. Siapa bilang semua orang di parpol itu suaranya sama. Karena nyatanya ada elite politik yang menentukan, mana UU yang harus disetujui mana UU yang harus dipercepat dan mana yang nggak usah dibahas," ujarnya.
Bivitri pun memberikan contoh nyata yang menggambarkan suara perwakilan partai politik ditentukan oleh elite bukan kepentingan suara publik melalui pernyataan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Pacul saat diminta membahas RUU Perampasan Aset oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
"Dia (Bambang Pacul) bilang ya itu terserah, kan Pak Mahfud juga tahu yang ngambil keputusan itu adalah ketua partai, Ibu, bukan kami tapi saya tidak mau menyoroti satu partai. Karena kecenderungannya ada di semua partai," ujarnya.
Karena itu, dia menilai kondisi kekuasaan sebenarnya ada di elite-elite partai politik bukan publik. Sehingga, kesepakatan maupun kebijakan yang dihasilkan pun bukan berdasrkan keinginan masyarakat luas tetapi para elit.
"Ada di negara banyak terjadi yang namanya kartel politik yang berkuasa sebenarnya elit, elit yang membuat kesepakatan-kesepakatan bahkan antar partai partai politik bahkan parpol dengan pemerintah sehingga yang dihasilkan dalam kebijakan apa yang mereka inginkan, bukan yang warga inginkan," ujarnya.
Peneliti Pusat Studi Komunikasi, Media dan Budaya Fikom Universitas Padjadjaran Detta Rahmawan juga menilai temuannya sepanjang 2021-2023 dengan perwakilan ormas, mahasiswa, media/jurnalis akademisi, menemukan berbagai isu publik di media dan media sosial yang bertahan dan tenggelam. Saat ini, dia menilai terjadi penyempitan ruang sipil untuk berpartisipasi.
"Misalnya, kita liat ruang sipil untuk partisipasi. Kita alami penyempitan ruang sipil dari organisasi Civicus, Lokataru, PSHK dan Safenet," ujar Detta.
Karena itu, dia juga menemukan warga yang merasa takut menyampaikan aspirasinya di ruang publik. Hal ini karena eskalasi kekerasan fisik maupun non fisik seperti peretasan di media sosial hingga doxing. "Jadi untuk warga yang mencoba kritis ada potensi chilling effect, alih-alih berparitispasi mereka bahkan enggan mengemukakan pendapat ya jadi itu jadi kondisi ruang sipil yang kurang baik," ujarnya.
Detta menilai minimnya partisipasi publik ini menjadi masalah serius saat ini. Apalagi, dia menilai ada kecenderungan partisipasi publik yang dilakukan Pemerintah bersifat administratif.
Dia mencontohkan, kebijakan yang diklaim telah melalui proses penyerapan aspirasi publik tetapi justru diketahui publik setelah ramai diberitakan. "Kami memonitor berbagai kebijakan yang dapat pro kontra reaksi keras selama 2020 hingga 2022 misalnya dan ada pola yang didapat biasanya yang kemudian partisipasi publik didengar dan kemudian diterima, atau isu publik yang berubah karena pastisipasi publik itu biasanya yg mudah dipahami dan sifatnya populis," ujarnya.