Rabu 12 Jul 2023 23:34 WIB

UU Kesehatan Disebut Cacat Prosedural, IDI: Sejarah Kelam Dunia Medis Indonesia

Penyusunan RUU hingga jadi UU Kesehatan, tidak mencerminkan kepentingan partisipasi.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Muhammad Adib Khumaidi.
Foto: Republika/Mabruroh
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Muhammad Adib Khumaidi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan, disahkannya RUU Kesehatan menjadi UU dalam rapat paripurna ke-29, kemarin, menjadi catatan kelam di dunia kesehatan Indonesia dan organisasi profesi.

Dia menilai, penyusunan RUU hingga akhirnya menjadi UU Kesehatan, tidak mencerminkan kepentingan partisipasi yang bermakna.

Baca Juga

“Transparansi tidak dilakukan, yang sampai saat ini pun kita belum pernah mendapatkan rilis resmi RUU final yang kemudian disahkan. Sebuah cacat prosedural dalam pembuatan regulasi. Kecacatan formil hukum dalam pembuatan UU,” kata Adib dalam keterangan videonya di Jakarta, dikutip Rabu (12/7/2023).

Dia mengatakan, produk politik UU Kesehatan yang sejak awal hingga pengesahannya unprocedural process, jelas merusak nilai demokrasi dan konstitusi negara. Apalagi, saat kepentingan, partisipasi dan aspirasi semua kelompok tidak terakomodasi dengan baik.

“Kemudian dari RUU sampai UU disahkan dan mencabut 9 UU lama, diselesaikan hanya dalam waktu enam bulan. Proses yang luar biasa,” Adib menyindir.

Dalam keterangannya, Adib mempertanyakan kepentingan UU Kesehatan yang baru disahkan untuk masyarakat. Ia juga menyinggung pengesahan UU Kesehatan yang tergesa-gesa karena kepentingan pihak lain. “Kami dari kelompok profesi tidak paham dengan hal seperti itu,” jelasnya.

Tak sampai di sana, pihaknya juga mengaku kecewa atas dukungan dan pertemuan DPR Komisi IX dengan organisasi kesehatan atau lembaga pendukung UU Kesehatan hari ini, Rabu (12/7/2023). Menurut dia, kekecewaan makin menjadi saat IDI dan masyarakat, belum pernah mendengar organisasi yang melibatkan diri dalam aturan kesehatan terbaru.

“Dan apa juga yang kemudian sudah dilakukan mereka kepada rakyat?” tanya Adib saat dikonfirmasi.

Adib juga mempertanyakan pembuktian ataupun peran mereka terhadap masyarakat secara luas. Apalagi, saat organisasi yang tak diketahui itu, malah dilegitimasi oleh lembaga negara seperti DPR dan Komisi IX hingga Kementerian Kesehatan.

“Dan kita tidak tahu apakah organisasi-organisasi ini adalah organisasi yang memang sudah existing. Artinya, kita di IDI itu sudah existing, sudah ada pembuktian untuk rakyat, sudah sangat jelas,” tutur dia.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement