Senin 10 Jul 2023 18:17 WIB

Forum Guru Besar Tolak RUU Kesehatan Lewat Petisi, Sampaikan Empat Pokok Permasalahan

Penyusunan dan pembahasan UU seharusnya melibatkan semua pihak.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Agus raharjo
Massa dari Tenaga medis dan kesehatan melakukan aksi di depan gedung MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Senin (5/6/2023). Massa tersebut melakukan aksi damai untuk menolak pembahasan rancangan undang-undang atau RUU Kesehatan Omnibus Law.
Foto: Republika/Prayogi
Massa dari Tenaga medis dan kesehatan melakukan aksi di depan gedung MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Senin (5/6/2023). Massa tersebut melakukan aksi damai untuk menolak pembahasan rancangan undang-undang atau RUU Kesehatan Omnibus Law.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penolakan RUU Kesehatan untuk disahkan menjadi UU masih terus digaungkan oleh berbagai pihak. Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) pada Senin (10/7/2023) bahkan melayangkan petisi yang ditandatangani 84 Guru Besar kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani untuk menunda pengesahan RUU Kesehatan.

Dokter spesialis kandungan dan perwakilan Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) Prof Laila Nuranna Soedirman mengatakan, setidaknya ada empat isu yang menjadi pokok perhatian. Pertama, penyusunan RUU Kesehatan yang tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan undang-undang, yaitu keterbukaan atau transparan, partisipatif dan kejelasan landasan pembentukan serta kejelasan rumusan.

Baca Juga

Kedua, kata dia, tidak adanya urgensi dan kegentingan yang mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan saat ini. Apalagi, dia menyinggung jika RUU Kesehatan akan mencabut sembilan undang-undang terkait kesehatan dan mengubah empat undang-undang lainnya.

“Padahal hampir semua undang-undang tersebut masih relevan digunakan dan tidak ditemukan adanya redundancy dan kontradiksi satu sama lain,” tutur dia dalam konferensi pers daring di Jakarta, Senin (10/7/2023).

Ketiga, lanjut Prof Laila, berbagai aturan dalam RUU Kesehatan malah bisa memantik destabilitas sistem kesehatan serta menganggu ketahanan kesehatan bangsa. Menurut dia, sejumlah pasal dalam RUU Kesehatan malah tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan kepada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat.

“Di antaranya, (a) hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai amanah Abuja Declaration WHO dan TAP MPR RI X/MPR/2001, (b) munculnya pasal-pasal terkait multi-bar bagi organisasi kesehatan,” katanya.

Tak sampai di sana, faktor ketiga dalam pokok ini, dia nilai juga bisa memudahkan dokter asing masuk ke negara ini tanpa menguntungkan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih memerangi kemiskinan. “Kemudian (d) implementasi proyek bioteknologi medis yang mengakibatkan konsekuensi serius pada biosekuritas bangsa. Dan (e) kontroversi terminologi waktu aborsi,” tegasnya.

Isu Keempat atau terakhir yang menjadi permasalahan, lanjut dia, adalah pengesahan RUU Kesehatan yang menuai banyak kontroversi. Dia menjelaskan, RUU Kesehatan ke depan, bisa melahirkan kelemahan penerimaan dan implementasi undang-undang yang bermuara pada konflik, kurangnya legitimasi undang-undang, serta minimnya partisipasi kolektif.

“Kami mohon dan berharap kiranya masukan ini menjadi pertimbangan serius bagi Bapak Presiden dalam menentukan proses selanjutnya dari RUU Kesehatan ini,” ucap dia.

Dari pokok-pokok itu, dia mengingatkan, RUU Kesehatan yang hingga kini masih memiliki sejumlah isu serius dan berpotensi menganggu ketahanan kesehatan bangsa. Sebab itu, pihaknya mengusulakan agar RUU Kesehatan bisa ditunda pengesahannya.

Di lokasi yang sama Prof Sukman Tulus Putra yang juga tergabung dalam FGBLP mengatakan, penyusunan dan pembahasan suatu undang-undang seharusnya melibatkan semua pihak demi produk hukum yang bermanfaat. Apalagi, kata dia, kesehatan menjadi hal fundamental seluruh elemen.

“Namun hingga kini, mendekati waktu pengesahan yang akan diparipurnakan DPR, aspirasi yang berkembang tidak diberlakukan sebagaimana mestinya,” kata Prof Sukman.

Dia mengatakan, forum yang ada merupakan panggilan para akademisi dan guru besar dari berbagai keilmuan untuk menyikapi situasi yang ada. Dia berharap, petisi yang dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR bisa menjadi pertimbangan untuk kebaikan ketahanan bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement