Rabu 28 Jun 2023 08:05 WIB

Dua Warga Minta Mahkamah Konstitusi Batasi Jabatan Ketum Parpol, Sasar PDIP?

Penggugat singgung Ketum PDIP yang menyebut Presiden Jokowi petugas partai.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) saat memimpin sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (15/6/2023). (Ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) saat memimpin sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (15/6/2023). (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua warga negara meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatasi masa jabatan ketua umum partai politik (parpol) maksimal 10 tahun. Dalam berkas gugatannya, mereka menyinggung status petugas partai yang disematkan kepada Presiden Jokowi oleh Ketua Umum PDIP.

Para penggugat, yakni warga Nias bernama Eliadi Hulu dan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Saiful Salim, mengatakan, tidak adanya ketentuan batas masa jabatan ketum parpol dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Menurut mereka, hal ini memunculkan ketum parpol yang menjabat puluhan tahun.

Baca Juga

Menurut mereka, ketum parpol yang menjabat terlalu lama memperoleh kekuasaan yang amat besar. Ketum parpol akhirnya menjadi otoriter, bahkan punya cengkeraman terhadap pejabat negara dari partainya.

"Bahkan bukan hanya secara internal, pimpinan partai politik pun dapat mengontrol anggota DPR hingga presiden. Oleh karena itu pembatasan masa jabatan pimpinan partai politik menjadi sangat urgen untuk segera diwujudkan," kata mereka dalam berkas permohonannya, dikutip dari situs resmi MK, Senin (26/6/2023).

Mereka menjadikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai contoh. Megawati Soekarnoputri sudah menjabat sebagai Ketua Umum PDIP selama 24 tahun. Dengan kekuasaannya yang besar hasil akumulasi hampir seperempat abad, Megawati dengan lantang menyebut Presiden RI Jokowi merupakan petugas partai.

"Di kesempatan yang berbeda, ketua umum PDIP juga menyatakan jika Joko Widodo yang merupakan kader dari PDIP sekaligus Presiden RI merupakan "petugas partai". Implikasi sebutan dari petugas partai adalah harus tunduk pada perintah partai," kata Eliadi dan Saiful.

Megawati dengan kuasanya yang besar, lanjut mereka, juga mengontrol kader PDIP yang menjadi anggota DPR RI. Mereka mengungkit peristiwa dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Menkopolhukam Mahfud MD beberapa waktu lalu. Ketika itu, Ketua Komisi III sekaligus kader PDIP Bambang 'Pacul' Wuryanto menyebut pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR harus mendapat persetujuan ketum parpol.

"Lebih spesifik lagi, Bambang Pacul memeragakan gestur seseorang yang begitu taat dan tunduk pada perintah ketua umum parpol. Hal ini merupakan pertanda besarnya pengaruh dan kekuasaan dari ketua umum partai politik, bahkan anggota DPR tunduk pada perintah yang dikeluarkannya," ujar mereka.

Lebih lanjut, Eliadi dan Saiful mencontohkan otoritarianisme ketum parpol itu pada peran tunggal Megawati sebagai penentu calon presiden dan wakil presiden dari PDIP. "Bahkan Jokowi sebagai kader partai dan sedang menjabat sebagai presiden Indonesia telah mengusulkan beberapa nama untuk menjadi cawapres, namun keputusan tetap berada di tangan ketua umum," kata mereka.

Mereka menambahkan, tiadanya pembatasan masa jabatan ketum parpol juga terbukti memunculkan dinasti politik. Selain Megawati yang bercokol selama 24 tahun di posisi Ketua Umum PDIP, ada pula putrinya Puan Maharani yang menduduki posisi strategis Ketua DPP PDIP Bidang Politik. Sedangkan putra Megawati, Prananda Prabowo mengemban tugas sebagai Ketua DPP PDIP Bidang UMKM.

Sementara itu pada kasus Partai Demokrat, eks ketua umum Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewariskan tampuk kepemimpinan kepada putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Posisi Wakil Ketua Umum Demokrat diduduki oleh Edhie Baskoro Yudhoyono yang merupakan anak kedua SBY. Adapun SBY sendiri kini masih berkuasa dengan jabatan sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.

Dengan semua dampak buruk atas tiadanya batas masa jabatan ketum parpol itu, Eliadi dan Saiful meminta MK menyatakan Pasal 23 ayat 1 UU Parpol bertentangan dengan konstitusi. Pasal tersebut berbunyi: "Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART."

Mereka meminta MK mengubah bunyi pasal tersebut menjadi: "Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut."

Permohonan Eliadi dan Saiful ini belum teregister secara resmi di MK. Permohonan mereka baru dicatat dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) per 21 Juni 2023 nomor 65/PUU/PAN.MK/AP3/06/2023.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement