Selasa 27 Jun 2023 15:15 WIB

Pengacara: Uang Ganti Rugi Rp 120 Miliar Bukan Kewajiban Orang Tua Mario Dandy

Pengacara sebut uang ganti rugi Rp 120 miliar bukan kewajiban Mario Dandy.

Rep: Ali Mansur/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa Mario Dandy Satriyo menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengacara sebut uang ganti rugi Rp 120 miliar bukan kewajiban Mario Dandy.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Mario Dandy Satriyo menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengacara sebut uang ganti rugi Rp 120 miliar bukan kewajiban Mario Dandy.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim kuasa hukum Mario Dandy Satriyo menyoroti penyataan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menyatakan pihak keluarga Mario Dandy Satriyo harus membayar restitusi atau uang ganti rugi senilai Rp 120 miliar jika kliennya bisa memenuhinya. Disebutnya, LPSK tak bisa serta merta membebankan pembayaran restitusi kepada keluarga Mario Dandy.

Kuasa hukum Mario Dandy, Andreas Nahot Silitonga mengatakan dalam peraturan memang disebutkan pembayaran restitusi bisa dibebankan kepada pihak ketiga jika pelaku tidak mampu membayar. Dalam PP Nomor 43 Tahun 2017 tentang pelaksanaan restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana tidak menyebutkan siapa yang menjadi pihak ketiga. 

Baca Juga

Namun, kata Andreas, dalam ketentuan Pasal 1 ayat (15) Perma Nomor 1 Tahun 2012 tentang salinan tata cara penyelesaian permohonan dan pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban tindak pidana, menyatakan 'bahwa pihak ketiga adalah pihak selain pelaku tindak pidana yang bersedia membayar restitusi'.

"Dalam kasus terdakwa Mario ini sangat jelas bahwa pihak ketiga dimaksud adalah orang yang bersedia untuk membayar restitusi. Misalnya jikalau pun orang tua akan membayar restitusi harus berdasarkan kesediaan," ujar Andreas dalam keterangannya, Selasa (27/6/2023).

Selain itu, menurut Andreas, beleid dalam PP Nomor 43 Tahun 2017 itu membahas soal pembayaran restitusi untuk anak. Dalam Pasal 1 ayat (6) Perma Nomor 1 Tahun 2012 berbunyi 'termohon (restitusi) adalah pelaku tindak pidana atau orang tua atau wali, dalam hal pelaku tindak pidana adalah anak'.

Kata dia, ketentuan di atas menjelaskan soal apabila pelaku tindak pidana adalah anak maka yang dapat menggantikan adalah orang tua. Sementara Mario merupakan subjek hukum yang sudah dewasa, berusia 19 tahun.

"Perlu dipahami bahwa terdakwa Mario merupakan orang yang sudah cakap hukum sehingga segala pertanggungjawaban dapat dimintakan kepada terdakwa," ungkap Andreas.

Sementara itu terkait syarat pihak ketiga yang bersedia membayar restitusi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 ayat (9) dan Pasal 14 ayat (3) Perma 1/2012 menyatakan 'Dalam hal restitusi akan dibayarkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga wajib dihadirkan dalam sidang untuk dimintai persetujuannya'.

"Berdasarkan bunyi pasal tersebut sangat jelas menyebutkan pihak ketiga dihadirkan dalam persidangan untuk diminta persetujuan. Maka apabila orang tua Terdakwa Mario yang menjadi pihak ketiga yang akan membayar restitusi tersebut maka terlebih dahulu diminta apakah bersedia dan setuju membayar restitusi tersebut," tutur Andreas.

Andreas juga membandingkan cara LPSK dalam menghitung besaran restitusi kepada Mario dengan kasus pembunuhan yang terjadi di Yogyakarta. Kasus di Yogyakarta dalam Putusan 63/Pid.B/2022/ PN. Smn pada Pengadilan Negeri Sleman. Sementara dalam kasus di PN Sleman yang Korbannya meninggal LPSK meminta besaran restitusi Rp 94.111.616. 

Lanjut Andreas, mengacu kepada kedua kasus tersebut menggambarkan bahwa nilai yang diminta restitusi sebesar Rp 120 miliar kepada terdakwa Mario adalah perhitungan yang keliru dan tidak berdasar. Karena, kata dia,  korban yang masih hidup dan masih dimungkinkan untuk sembuh, berkaca kepada Putusan 63/Pid.B/2022/ PN. Smn pada PN Sleman.

"Restitusi yang diminta sebesar Rp 94 juta yang korbannya meninggal dunia," tutur Andreas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement