Ahad 25 Jun 2023 13:40 WIB

Eks Penyidik Sarankan Korban Pelecehan Seksual Pegawai Rutan KPK Melapor ke Polisi

Pegawai KPK pelaku pelecehan itu harusnya dipecat, bukan sanksi pelanggaran etik.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Fuji Pratiwi
Pekerja mengecat logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (10/8/2021).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Pekerja mengecat logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (10/8/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap, menyarankan korban pelecehan seksual pegawai Rutan KPK melaporkan kasusnya ke polisi. Menurut Yudi, langkah ini penting untuk memberi efek jera terhadap pelaku dan mencegah kejadian serupa terulang kembali.

"Kepada keluarga korban jika merasa bahwa putusan Dewas tersebut tidak adil, bisa melaporkan kepada kepolisian agar juga diproses pidananya. Hal ini juga penting agar menjadi efek jera bagi pegawai KPK lain agar tidak melakukan hal yang sama seperti pelaku," kata Yudi dalam keterangan tertulisnya, Ahad (25/6/2023).

Baca Juga

Adapun Dewas KPK telah menindaklanjuti dugaan tindak asusila ini pada April 2023 lalu. Namun, pegawai rutan yang melakukan pelecehan itu hanya dijatuhi putusan pelanggaran etik sedang.

Yudi menilai, putusan Dewas tersebut sangat tidak berpihak kepada korban. Menurut dia, justru pelaku seharusnya dipecat.

"Putusan Dewas KPK sangat tidak berpihak kepada korban pelecehan seksual dan sangat mengecewakan. Oknum pegawai KPK yang bertugas di Rutan KPK tersebut seharusnya dipecat, bahkan dipidanakan, bukan malah diberikan sanksi sedang," tegas Yudi.

Yudi juga menjelaskan, KPK sebagai lembaga yang menjunjung tinggi integritas, seharusnya tidak menoleransi pelecehan seksual kepada siapapun, termasuk dalam hal ini terhadap istri tahanan. Dia mengatakan, dengan masih bekerjanya pelaku pelecehan di KPK, maka akan menjadi contoh buruk bagi pegawai lainnya.

"Bisa jadi akan menimbulkan kerawanan bagi pegawai KPK, terutama yang wanita dan tidak ada jaminan tidak akan mengulangi perbuatannya," kata mantan Ketua Wadah Pegawai KPK ini.

Sebagai informasi, selain melakukan sidang etik, KPK juga menindaklanjuti kasus pelecehan tersebut dengan menggelar proses pemeriksaan di Inspektorat terkait kedisiplinan pegawai. Penegakan berlapis ini untuk memastikan pegawai KPK bekerja dengan menjunjung tinggi kode etik.

Sebelumnya diberitakan, eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan angkat suara soal kasus pungutan liar (pungli) di Rutan KPK. Dia menduga, hal ini awalanya terungkap dari laporan ke Dewan Pengawas (Dewas) terkait dugaan asusila yang terjadi pada istri tahanan.

"Dugaan saya, setelah ada laporan tersebut (dugaan asusila) baru Dewas tahu kalau tahanan itu juga setor bulanan ke petugas rutan dan tahanan yang lain juga," kata Novel dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/6/2023).

Novel tak menjelaskan lebih rinci mengenai dugaan asusila tersebut. Dia hanya mengatakan, perbuatan yang diduga dilakukan oleh seorang petugas itu telah diadukan kepada Dewas KPK.

Namun, menurut dia, laporan dugaan asusila itu tidak disampaikan ke publik. Dewas KPK justru kini fokus terhadap temuan pungli.

"Mereka tutupi soal fakta bahwa ada laporan dari istri tahanan soal pelecehan yang dilakukan petugas KPK," ungkap Novel.

Sebelumnya, Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dugaan pungutan liar (pungli) di Rutan KPK. Berdasarkan data sementara yang dikantongi Dewas, nilainya ditaksir mencapai Rp 4 miliar. Namun, jumlah tersebut masih dapat bertambah.

"Periodenya Desember 2021 sampai dengan Maret 2022 itu sejumlah Rp 4 miliar, jumlah sementara, mungkin akan berkembang lagi," ungkap anggota Dewas KPK, Albertina Ho.

Albertina menjelaskan, pungli ini dilakukan terhadap para tahanan di Rutan KPK. Dia menyebut, pungutan tersebut salah satunya dalam bentuk setoran tunai menggunakan rekening pihak ketiga.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement