Kamis 22 Jun 2023 17:37 WIB

Al Araf Sebut TNI Bisa Mengerahkan Pasukan tanpa Keputusan Presiden

Secara substansi revisi UU TNI akan mengembalikan lagi peran dwifungsi ABRI.

Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf menyebut  dalam revisi UU TNI  ada ketentuan TNI bisa mengerahkan pasukan tanpa persetujuan politik presiden.
Foto: istimewa/doc humas
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf menyebut dalam revisi UU TNI ada ketentuan TNI bisa mengerahkan pasukan tanpa persetujuan politik presiden.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf, menyebut dalam revisi UU TNI ada substansi TNI dapat mengerahkan pasukan tanpa keputusan politik presiden. Selain itu, revisi ini akan memperluas fungsi militer dari pertahanan ditambah menjadi alat keamanan negara.

Hal ini disampaikan Al Araf  dalam diskusi bertajuk 'Problematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik dan Hak Asasi Manusia’. Kegiatan ini digelar atas kerja sama PBHI dan FISIP Universitas Parahyangan Bandung, Kamis  (22/6/2023).

"Masalah yang lain (dalam poin revisi UU TNI) adalah kewenangan presiden dalam mengerahkan pasukan dihapus di mana TNI dapat mengerahkan pasukan tanpa keputusan politik presiden," jelas Al Araf dalam siaran pers yang diterima Republika.

Dikatakan Al Araf,  revisi Undang-undang TNI akan membuat mereka makin keluar jauh dari barak. Ini berbahaya dan menunjukkan adanya kemunduran demokrasi. "Substansi revisi RUU TNI akan membuat TNI semakin keluar jauh dari barak, fungsinya tidak lagi fokus ke sektor pertahanan tapi juga mencakup keamanan dalam negeri,” ungkap Al Araf.

Arah paradigma politik hukum revisi UU TNI bukan untuk mendorong profesionalisme prajurit TNI tapi sebaliknya akan melemahkan. Sebab, jelas  Al Araf, perwira TNI aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil yang makin luas dari ketentuan yang diatur dalam UU TNI saat ini. Kondisi ini berpotensi mengembalikan dwifungsi seperti masa Orde Baru.

Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani, menilai draft revisi UU TNI antireformasi dan antidemokrasi. Indikasinya revisi tersebut akan memiliterisasi ranah sipil, penempatan perwira aktif pada jabatan sipil (Dwifungsi), offside kewenangan.

"Nah di Indonesia malah tentara mau dikasih kewenangan; keamanan dalam negeri, impunitas terhadap kejahatan anggota militer termasuk terhadap pelanggaran HAM, pembangunan postur kekuatan militer lepas dari kontrol presiden dan menjadi kekuatan politik sendiri. Revisi UU TNI harus ditolak, karena akan menjauhkan TNI dari marwahnya sebagai alat pertahanan negara,” papar Julius.

Direktur LBH Bandung Lasma Nathalia, mengatakan pengaturan terkait TNI harus tunduk pada prinsip negara hukum yaitu konstitusi, sistem check and balances (demorkasi),  dan pemenuhan HAM. Draft revisi UU TNI yang beredar belakangan ini bertentangan dengan UUD 1945, misalnya terkait kewenangan pengerahan pasukan oleh presiden. Hal ini inkonstitusional.

"Di lapangan banyak ditemukan berbagai fakta keterlibatan TNI atas nama mengamankan proyek-proyek startegis nasional yang akhirnya berhadapan rakyat,” papar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement