Senin 12 Jun 2023 09:30 WIB

Wajib Lapor Sumbangan Kampanye Dihapus, Bawaslu Akui Kesulitan Mengawasi

Bawaslu akui kesulitan mengawasi sumbangan kampanye, maka itu kewajiban lapor dihapus

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja. Bawaslu akui kesulitan mengawasi sumbangan kampanye, maka itu kewajiban lapor dihapus
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja. Bawaslu akui kesulitan mengawasi sumbangan kampanye, maka itu kewajiban lapor dihapus

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, angka bicara terkait kebijakan KPU RI menghapus ketentuan yang mewajibkan peserta pemilu menyampaikan dana sumbangan kampanye yang diterimanya. Bagja menyebut, penghapusan itu akan membuat pihaknya kesulitan mengawasi aliran dana sumbangan kampanye dalam gelaran Pemilu 2024. 

"Ya tentu pengawasan kita akan menjadi agak sulit," kata Bagja kepada wartawan di Jakarta, Senin (12/6/2023). 

Baca Juga

KPU RI diketahui tidak memuat pasal yang mewajibkan peserta pemilu menyampaikan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. Komisi II DPR RI pada akhir Mei 2023 lalu menyetujui rancangan peraturan tersebut. Beleid itu akan segera diundangkan. 

Padahal, pasal yang mewajibkan LPSDK selalu ada dalam regulasi KPU pada setiap gelaran pemilu dan pilkada sejak tahun 2014. Ketika LPSDK resmi dihapuskan, maka semua peserta Pemilu 2024, mulai dari pasangan capres-cawapres hingga partai politik, tidak lagi wajib melaporkan sumbangan kampanye kepada KPU segera setelah dana diterima selama masa kampanye. 

Peserta pemilu hanya wajib menyampaikan dana sumbangan yang diterimanya dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). 

Bagja mengatakan, meski akan kesulitan, pihaknya tetap akan berupaya optimal mengawasi aliran dana sumbangan kampanye. Sebab, UU Pemilu mengatur jumlah maksimal sumbangan yang boleh diterima peserta pemilu. Ada juga ketentuan yang melarang peserta pemilu menerima dana sumbangan dari pihak asing dan uang hasil tindak pidana. 

Bawaslu, menurut dia, akan melakukan pengawasan dengan cara membandingkan data LADK dan LPPDK. Pengecekan tentu akan dilakukan setelah masa kampanye, karena LPPDK baru bisa dibuat setalah masa kampanye selesai.

"Terpaksa (pengecekan kesesuaian data) LADK dan LPPDK dilakukan di akhir masa kampanye," kata Bagja. 

Bagja pun mengungkap potensi masalah yang akan terjadi, yakni aliran dana hasil kejahatan dalam bentuk sumbangan kampanye kepada peserta pemilu. Lantaran tidak ada instrumen LPSDK, pihaknya akan mengandalkan laporan intelijen dari Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Karena nggak mungkin dilaporkan lah dana-dana bermasalah itu, baik di LADK maupun LPPDK,” ujar pria yang menjabat posisi komisioner Bawaslu RI sejak tahun 2017 itu.

Dia menambahkan, jika benar nanti ditemukan indikasi aliran dana hasil tindak pidana kepada peserta pemilu, maka Bawaslu akan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindak praktik tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu.

"Mau tidak mau kita harus libatkan teman-teman KPK," ujarnya.

KPU RI saat rapat dengan Komisi II DPR pada akhir Mei lalu, menyampaikan bahwa kewajiban pelaporan LPSDK dihapus karena instrumen tersebut tidak diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. LPSDK dihapus juga karena sulit menempatkan jadwal penyampaiannya lantaran masa kampanye Pemilu 2024 hanya 75 hari saja ( 28 November 2023-10 Februari 2024). 

KPU juga berdalih bahwa penghapusan LPSDK dilakukan karena informasi mengenai penerimaan sumbangan dana kampanye bakal termuat semuanya dalam LADK dan LPPDK. 

Komisioner KPU RI Idham Holik pada Selasa (6/6/2023) mengatakan, meski LPSDK dihapus, bukan berarti peserta pemilu tidak lagi melaporkan dana sumbangan kampanye. KPU tetap meminta peserta pemilu menyampaikan dana sumbangan via kanal Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam) KPU. 

Idham menjelaskan, kanal Sidakam hanya bisa diakses oleh petugas KPU dan peserta pemilu. Kendati begitu, nama pemberi dan jumlah sumbangannya akan ditampilkan di laman infopemilu.kpu.go.id sehingga bisa dilihat oleh masyarakat. 

Sebanyak 144 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas menentang penerapan Sidakam tanpa LPSDK. Sebab, penggunaan Sidakam tidak bersifat wajib lantaran hanya diatur dalam petunjuk teknis (juknis). Karena itu, mereka mendesak KPU memuat pasal yang mewajibkan LPSDK dalam rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement