REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo awalnya menegaskan tidak akan cawe-cawe terkait Pemilu, terutama Pilpres 2024. Tapi, belakangan, Presiden Jokowi malah mengaku akan terus cawe-cawe dengan dalih kemaslahatan negara.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan, akan lebih banyak maslahat bagi negara kalau Jokowi konsisten dengan sikap awalnya. Artinya, menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme konstitusi dan hukum.
Ia menekankan, selain peraturan formal bernegara, ada etika bernegara serta sumpah jabatan yang penting untuk dilaksanakan Presiden Jokowi. Semua itu penting dilaksanakan agar meninggalkan warisan kenegarawanan.
Hidayat mengaku memahami seorang presiden harus menghadirkan kebijakan yang menghadirkan kemaslahatan dan mengatasi riak-riak. Tapi, semua itu hendaknya tetap dalam koridor nilai dan konvensi kesepakatan nasional.
Sikap cawe-cawe itu tidak sejalan TAP MPR Nomor VI/MPR/2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Salah satu poinnya terkait etika politik untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif.
Serta, menumbuhkan suasana politik demokratis yang berciri keterbukaan, bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan menerima pendapat yang lebih benar.
"Sikap cawe-cawe terhadap pemilu sangat dikhawatirkan dapat menghadirkan ketidaksesuaian dengan ketentuan-ketentuan etika bernegara dan berbangsa yang dinyatakan oleh TAP MPR tersebut," kata Hidayat, Jumat (9/6/2023).
Ia menekankan, cawe-cawe juga bisa tidak sejalan norma sumpah jabatan presiden yang secara jelas tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945. Yang mana, diucapkan oleh Presiden Jokowi di depan sidang paripurna MPR.
Atas sumpah itu, Jokowi tidak lagi sekedar politisi, bahkan bukan cuma kepala pemerintahan, tapi kepala negara. Negarawan untuk mengayomi semua warga dan semua kelompok, termasuk yang mungkin berbeda dari presiden.
Sikap cawe-cawe dengan memihak dan memfasilitasi kepada kelompok politik dan bacapres tertentu saja dengan mengabaikan yang lain, mudah dinilai sebagai tidak memenuhi prinsip keadilan. Apalagi, yang seadil-adilnya.
"Seharusnya Presiden Jokowi konsisten saja dengan sikap yang dinyatakan sebelumnya bahwa tidak akan cawe-cawe soal pemilu dan dengan itu membuat legacy melanjutkan kenegarawanan dari Presiden SBY," ujar Hidayat.
Sekalipun ada riak tapi tetap netral dan tidak cawe-cawe, demokrasi dan pemilu bisa berjalan baik. Dengan kenegarawanan mengayomi semua Presiden Jokowi bisa menyaksikan demokrasi yang lebih dewasa dan substantif.
"Itu juga akan jadi legacy sukses Presiden Jokowi mengelola peralihan kepemimpinan nasional dengan spirit demokrasi kenegarawanan, dan itu menentramkan bangsa dan partai-partai, riak-riak dengan sendirinya terkoreksi," kata Hidayat.