Rabu 07 Jun 2023 20:56 WIB

MPR Ingatkan Pemerintah tak Anggap Remeh Peningkatan Angka Putus Sekolah

Angka partisipasi pada jenjang SMA baru mencapai 73,15 persen.

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12,  Rabu (18/1/2023).
Foto: Dok Republika
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (18/1/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Ririe) mengingatkan pemerintah tidak menganggap remeh fenomena putus sekolah di Indonesia. Menurut Ririe, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka putus sekolah kembali meningkat pada 2022. Padahal, sebelumnya angka putus sekolah mengalami tren penurunan sejak 2016.

"Peningkatan angka putus sekolah selama pandemi maupun disrupsi saat ini menunjukkan kita belum mampu melalui situasi krisis dan ketidakpastian global secara smooth di sektor pendidikan," tutur Ririe dalam keterangan, Rabu (7/6/2023).

Baca Juga

Ririe meminta pemerintah membuka ruang pembelajaran seluas-luasnya bagi setiap anak bangsa. Yakni dengan mengoptimalkan sumber daya semaksimal mungkin untuk memersiapkan generasi emas dan berdaya saing di masa mendatang.

Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem ini mengatakan, fenomena putus sekolah membutuhkan penanganan dan solusi yang serius. Hal ini menjadi syarat jika bangsa ini ingin mencerdaskan seluruh anak bangsa, meningkatkan kualitas SDM dan menuju pencapaian kesejahteraan nasional.

Rerie berpendapat, putus sekolah dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain ketidakinginan individu untuk melanjutkan sekolah, beban belajar yang terlampau berat, kemalasan, hingga masalah finansial rumah tangga. Politikus Nasdem ini mengingatkan bahwa semua anak memiliki kesempatan yang sama dan dukungan sumber daya yang sama dalam mengenyam pendidikan.

Kapoksi Komisi X Fraksi Nasdem DPR RI, Ratih Megasari Singkarru menuturkan pada periode 2012-2023 rerata peserta didik hanya mengenyam pendidikan delapan tahun. Bahkan di sejumlah daerah tertentu ada yang hanya tujuh tahun. Padahal penerapan wajib belajar selama 12 tahun.

Sejumlah kendala, ujar Ratih, menjadi penyebab kondisi tersebut seperti kondisi ekonomi keluarga, daya tampung sekolah, faktor geografi, pandemi, dan pemahaman keluarga tentang pendidikan. Ia mengatakan, karena kendala finansial, banyak anak usia sekolah terpaksa bekerja. Selain itu, tambahnya, daya tampung SMA dan SMK yang terbatas menyebabkan tidak mampu menampung seluruh lulusan SMP.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo menegaskan, untuk melihat angka putus sekolah harus dikaitkan secara historis. Menurutnya, bila dibandingkan dengan kondisi 20 tahun lalu, saat ini terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah bahkan mendekati 100 persen.

Pekerjaan rumah yang masih dihadapi, tambah dia, adalah pada jenjang SMA yang hingga saat ini angka partisipasinya baru mencapai 73,15 persen. Anindito mengungkapkan, bahwa Wajib Belajar 12 tahun sebenarnya masih pada tingkat komitmen, secara undang-undang saat ini yang berlaku adalah Wajib Belajar 9 tahun. Hal itu terlihat dari realisasi angka partisipasi sekolah di tingkat SMP yang saat ini sudah mencapai 95 persen.

Namun, Anindito mengakui, saat ini masih terjadi kesenjangan dalam mengakses pendidikan di Tanah Air dengan berbagai latar belakang kendala yang dihadapi. Menurutnya, pendidikan itu harus dibuat bermakna dan relevan sehingga ketika seorang anak disekolahkan hasilnya mampu memenuhi harapan keluarga mereka.

Program Merdeka Belajar, menurut dia, merupakan bagian upaya pemerintah meningkatkan akses untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Sekolah harus menjadi tempat yang membuka kesempatan pengembangan profil pelajar Pancasila. Tujuannya, setiap satuan pendidikan harus bertransformasi menjadi lingkungan belajar yang aman, efektif dan menantang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement