REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, mengatakan, kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak berusia 15 tahun oleh 11 orang pelaku di Kabupaten Parigi Moutong atau Parimo meminta publik untuk menunggu hasil penyidikan menyoal eksploitasi atau dugaan memperjualbelikan korban. Meski demikian, dia yakin hukuman terhadap para pelaku akan sangat berat.
Pasalnya, selain pemberatan berdasar Pasal 76D UU 35 tahun 2014 jo Pasal 81 UU 17 tahun 2016, pelaku jika terbukti, juga dikenakan denda dan pidana tambahan hingga tindakan kebiri.
“Hukumannya akan sangat berat, pelaku juga diwajibkan memenuhi hak korban seperti membayar ganti rugi (restitusi) dan kompensasi,” ujar Nahar kepada Republika di Jakarta, Jumat (1/6/2023).
Ditanya kembali indikasi korban diperjualbelikan, dia tak memerincinya lebih jauh. Namun demikian, pihaknya memastikan hal itu akan terungkap dari hasil penyidikan.
Ditanya kronologi kejadian menurut KemenPPPA, Nahar menjelaskan dilakukan sejak April 2022. Awalnya, kata dia, dilakukan pertama kali oleh oknum guru dan dilanjutkan para pelaku lain di tempat yang berbeda.
“Tahun 2023 korban mengalami kesakitan dan menginfokan ke orang tua, lalu orang tua lapor ke polisi, dan kemudian korban dirawat hingga kini di RS,” ucapnya.
Terpisah, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menyoroti permintaan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Pol Agus Nugroho soal kekerasan seksual anak usia 15 tahun di Parigi Moutong tidak lagi disebut pemerkosaan atau rudapaksa melainkan persetubuhan. Menurut dia, pernyataan polisi itu sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia.
“Dan pernyataan ini menunjukkan pemahaman hukum yang parsial, tidak komprehensif, dan tidak sesuai dengan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual, yang telah diperbarui,” kata Maidina.
Menurut dia, dalam UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan juga dengan adanya UU No 23 Tahun 2002, tidak menjelaskan narasi polisi bahwa iming-iming dalam kekerasan seksual itu menurunkannya menjadi "persetubuhan". Sebaliknya, kata dia, sekalipun ada iming-iming, bujuk rayu, perbuatan itu tetap kekerasan seksual.
“Bahkan level kejahatannya lebih berat. Dalam UU Perlindungan Anak pengaturan ini memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat,” ujar dia.
Sebelumnya, Kapolda Sulteng Irjen Pol Agus Nugroho yang memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur ihwal pemerkosaan atau rudapaksa terhadap anak. Dia meminta istilah pemerkosaan tidak lagi digunakan karena pihaknya yang tidak menggunakan istilah tersebut.
“Kita minta tidak menggunakan istilah pemerkosaan atau rudapaksa, melainkan persetubuhan anak di bawah umur,” kata Agus.
Dalam konferensi pers kemarin, Kamis (31/5/2023) Agus menduga, jika kekerasan seksual yang dilakukan 11 orang terhadap anak berusia 15 tahun itu tidak dilakukan bersama-sama. Menurut dia, kasus yang ada terjadi sejak April 2022 hingga Januari 2023.
"Dan dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam waktu berbeda-beda. Dilakukan secara berdiri sendiri, dan tidak bersamaan oleh 11 pelaku ini," katanya.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menyoroti kasus kekerasan seksual massal yang dilakukan 11 orang terhadap seorang remaja putri berusia 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) Sulawesi Tengah. Bahkan, pelaku diduga ada yang berstatus sebagai anggota Brimob inisial HST dan Kepala Desa inisial HS.
Arist menegaskan peristiwa ini merupakan kasus kekerasan seksual yang patut mendapat perhatian serius. Apalagi dampak kejadian ini terhadap korban begitu parah.
"Perlakuan bejat yang tidak manusiawi itu menyebabkan korban mengalami gangguan reproduksi hingga terancam menjalani operasi angkat rahim," kata Arist.