REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyoroti minimnya keterwakilan perempuan di dunia politik. KemenPPPA memandang hal tersebut langgeng karena kultur sosial masyarakat yang masih menjunjung budaya patriarki.
"Utamanya kultur sosial masyarakat yang masih patriarki, masih belum yakin perempuan bisa jadi pemimpin," kata Staf Ahli Menteri Bidang Partisipasi dan Lingkungan Strategis KemenPPPA Titi Eko Rahayu dalam media talk pada Jumat (20/10/2023).
Titi meyakini perempuan bukannya tidak mampu menjadi seorang pemimpin. Menurut dia, perempuan sebenarnya belum memperoleh kesempatan seluas yang dimiliki laki-laki.
"Masyarakat masih melihat pemimpin dari perspektif gender seolah-olah hanya laki-laki yang mampu menjadi pemimpin," ujar Titi.
Oleh karena itulah, KemenPPPA merangkul Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik. Ini mencakup mempersiapkan calon-calon legislatif untuk mempunyai kapasitas dan pemahaman yang cukup agar mereka bisa terpilih di Pemilu.
"Menggandeng KPPI dan lembaga masyarakat lainnya yang peduli isu perempuan dalam politik untuk mengadvokasi," ujar Titi.
Titi juga mendorong kelompok perempuan agar memilih caleg perempuan. Tujuannya supaya kepentingan perempuan dapat diperjuangkan.
"Ini terus kita dorong agar masyarakat perempuan mau untuk mendukung perempuan agar lolos menjadi anggota legislatif," ujar Titi.
Titi mengingatkan Undang-Undang Tindak Pidana Kerasan Seksual (UU TPKS) menjadi contoh kinerja kepemimpinan perempuan. UU TPKS berhasil disahkan menjadi UU pada 2022.
"UU TPKS kan sudah 10 tahun lalu (diperjuangkan), tetapi baru diketok saat di bawah kepemimpinan perempuan, Ketua DPR dan Anggota DPR yang membahas saat itu, tentunya didorong oleh kelompok masyarakat sipil," ujar Titi.