REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Yandri Susanto meminta Mahkamah Konstitusi (MK) konsisten dengan putusannya terkait sistem proporsional untuk pemilihan umum (Pemilu). Sebab, hal tersebut sudah pernah diputuskan pada 2008.
Diketahui, sistem proporsional terbuka merupakan putusan MK pada tanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak.
"Sudah berapa kali orang menggugat presidential threshold selalu bahasa MK itu open legacy pembuat undang-undang. Sama saja, di sistem Pemilu, jadi kalau sampai MK memutuskan hal yang berbeda dengan putusan yang tahun 2008," ujar Yandri di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/5/2023).
"Artinya MK sedang bermain dua kaki di presidential threshold mereka mengatakan open policy pembuat undang-undang. Karena itu meyangkut presidential threshold, di sistem pemilu kenapa itu sepertinya mau diacak-acak," sambungnya.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengkritisi jika MK benar akan mengabulkan gugatan terhadap sistem proporsional terbuka. Jika gugatan tersebut dikabulkan, ada potensi bahwa Pemilu 2024 akan menerapkan sistem proporsional tertutup.
Karenanya, ia berharap sembilan hakim MK objektif jelang putusan yang kabarnya akan dilakukan pada 31 Mei 2023. Apalagi masyarakat dan delapan fraksi di DPR sudah menyatakan penolakannya terhadap sistem proporsional tertutup.
"Kami sebetulnya ya masih sangat berharap sembilan hakim MK itu, ini belum ada keputusan, proses persidangan masih berjalan, dan kami yakin hakim MK itu masih berpikir jernih, punya hati nurani, dan berpikir objektif melihat seperti yang saya katakan itu dalam pengambilan keputusan," ujar Doli.
Jika Pemilu 2024 tiba-tiba menerapkan sistem proporsional tertutup, hal tersebut akan berimplikasi kepada banyak hal terkait perundang-undangannya. Bahkan, akan berdampak langsung pada pelaksanaan kontestasi itu sendiri.
Ia menjelaskan, perubahan sistem proporsional terbuka menjadi tertutup tak hanya berimplikasi pada satu atau dua pasal saja. Jika benar berubah, sistem proporsional akan berdampak pada setidaknya 20 pasal di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Kalau tiba-tiba itu dihentikan, ini (sistem proporsional) tertutup ini kan tidak ada, jadi bubar jalan ini. Bayangkan mereka (bakal caleg) yang sudah ikut, mengurus SKCK, ngurus pengadilan, terus kesehatan, dan tiba-tiba apa yang mereka kerjakan itu tidak ada artinya, itu kan juga akan menimbulkan implikasi," ujar Doli.