Senin 22 May 2023 23:18 WIB

Praktisi: Sistem E-Court Peradilan Indonesia Masih Banyak Celah Timbulkan Kerugian

Celah dalam sistem E-Court khususnya yang mengajukan upaya hukum banding

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petugas keamanan berjaga saat sidang lanjutan terdakwa Kuat Maruf di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta. Praktisi hukum, Clara Viriya, menilai, e-court dalam sistem peradilan di Indonesia memang memudahkan para pihak yang berperkara dalam mengakses informasi perkaranya. Meski demikian, dia menyebutkan, masih terdapat lubang besar yang dapat menimbulkan kerugian fundamental bagi pencari keadilan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas keamanan berjaga saat sidang lanjutan terdakwa Kuat Maruf di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta. Praktisi hukum, Clara Viriya, menilai, e-court dalam sistem peradilan di Indonesia memang memudahkan para pihak yang berperkara dalam mengakses informasi perkaranya. Meski demikian, dia menyebutkan, masih terdapat lubang besar yang dapat menimbulkan kerugian fundamental bagi pencari keadilan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi hukum, Clara Viriya, menilai, e-court dalam sistem peradilan di Indonesia memang memudahkan para pihak yang berperkara dalam mengakses informasi perkaranya. Meski demikian, dia menyebutkan, masih terdapat lubang besar yang dapat menimbulkan kerugian fundamental bagi pencari keadilan.

“Khususnya pencari keadilan yang memiliki keperluan mengajukan upaya hukum banding atas putusan pengadilan tingkat pertama via e-court,” ujar Clara dalam keterangannya, Senin (15/5/2023).

Clara mengatakan, ada pihak yang mengalami langsung bentuk kerugian tersebut. Di mana pengajuan banding tidak dapat diterima dengan diputus niet ontvankelijke verklaard (N.O) atau putusan yang menyatakan gugatan cacat formal dengan alasan ‘pendaftaran dilakukan melampaui batas waktu pengajuan banding.’

“Padahal, sesuai dengan keterangan, peraturan dan dokumen yang ditunjukkan oleh narasumber, pendaftaran banding via e-court itu dilakukan masih dalam kurun waktu 14 hari kalender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangnya, atau lebih tepatnya di hari terakhir periode 14 hari kalender itu,” jelas Clara.

Dia mengungkapkan, setelah dilakukan penelusuran peraturan dan praktis di lapangan, ditemukan fakta yang patut diduga menjadi hulu permasalahan tersebut. Di mana, hal itu ada pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 363/KMA/SK/XII/2022 atau SK e-Court.

SK e-Court tersebut, kata dia, salah satunya memuat frasa, pendaftaran perkara secara elektronik yang dilakukan di luar jam yang ditentukan pada angka 13 akan diproses pada hari kerja berikutnya. Menurut Clara, hal itulah yang diduga membuat adanya kerugian.

Clara juga mengatakan, ditambah dengan fungsi otomatisasi e-court yang belum matang dan sumber manusia pendukung yang belum siap, patut diduga menjadi kombinasi tidak ideal yang menghambat e-court untuk mencapai potensi maksimalnya.

“‘Diproses pada hari kerja berikutnya’ tentu tidak sama dengan ‘dianggap didaftarkan pada hari kerja berikutnya’. Keduanya memiliki makna dan konsekuensi hukum yang berbeda,” jelas dia.

Seharusnya, kata Clara, sistem e-court juga memiliki kemampuan untuk mendiferensiasi antara ‘perkara yang sudah didaftarkan dan sudah diproses’ dan ‘perkara yang sudah didaftarkan dan belum diproses’. Keduanya, menurut dia, juga memiliki makna dan konsekuensi hukum berbeda.

Sumber daya manusia pendukung di lembaga peradilan, lanjut dia, khususnya yang dipercaya untuk mengoperasikan fungsi penyelenggaraan e-Court, juga seharusnya bisa membedakan antara ‘Perkara yang didaftarkan dalam kurun waktu sesuai peraturan’ dengan yang tidak. Itu perlu dipahami terlepas kapan perkara tersebut ‘diproses’. 

“Kolaborasi dari peraturan, sistem, dan sumber daya manusia yang belum cukup baik dalam memenuhi kebutuhan pencari keadilan tersebut merupakan hal yang perlu dibenahi,” kata dia. 

Karena itu, lanjut Clara, SK e-Court, perlu diatur dengan tegas mengenai tetap sahnya pendaftaran banding selama dilakukan dalam kurun waktu 14 hari, walaupun diproses pengadilan  pengaju pada hari melampaui 14 hari tersebut atau semacam itu.

“Dalam konteks sistem elektronik, fungsi otomatisasi berdasarkan source code sistem e-court juga perlu dipastikan memilki kemampuan untuk melakukan inventarisasi perkara secara presisi sesuai dengan sifat dan konteksnya berdasarkan peraturan perundang-undangan,” kata dia.

“in casu mencatat limitasi waktu administrasi teknis sesuai dengan panduan dalam peraturan perundang-undangan,” sambung Clara.

Dengan begitu, kata dia, secara otomatis dapat dipastikan bahwa apabila seseorang masih dapat diterima pendaftaran bandingnya dalam sistem e-court. Dalam artian, pendaftaran tersebut masih sesuai dengan koridor limitasi waktu perundang-undangan.

Dia menegaskan, sumber daya manusia pendukung dan penyelenggara sistem elektronik e-court juga harus diberikan pelatihan dan pemahaman yang memadai akan hal-hal krusial yang dapat mempengaruhi hak dan kewajiban hukum pencari keadilan, in casu batas waktu pengajuan banding. 

“Lebih jauh daripada itu, seharusnya sumber daya manusia pendukung dapat memberikan input dan revisi yang bersifat real time atas kemungkinan ketidaksempurnaan sistem yang ada, sehingga keduanya berkolaborasi secara harmonis dalam menjalankan fungsi e-court,” kata Clara.

Menurut dia, hal itu untuk diperbaharui dan disempurnakan, mengingat hak untuk mengajukan upaya hukum dan mendapatkan keadilan objektif merupakan hak asasi manusia. Karena itu, kata dia, saat ini pencari keadilan yang telah dikurangi haknya tersebut sedang berjuang mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Itu dilakukan dengan harapan Mahkamah Agung bersikap adil dan berbesar hati untuk mengakui bahwa telah terjadi kesalahan dalam administrasi proses penegakan hukum dan dengan segera mengkoreksi kesalahan tersebut agar kerugian yang terjadi tidak berkelanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement