Jumat 05 May 2023 16:24 WIB

WALHI dan FPRB DIY Sebut Kondisi dan Pengelolaan Air Memprihatinkan

WALHI dan FPRB juga menyebut bahwa hampir seluruh air sumur tidak layak konsumsi

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Penyaluran air bersih untuk warga (ilustrasi). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY menilai penting untuk dilakukannya perbaikan pengelolaan air secara terpadu. Termasuk memberikan akses air bersih untuk masyarakat rentan.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Penyaluran air bersih untuk warga (ilustrasi). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY menilai penting untuk dilakukannya perbaikan pengelolaan air secara terpadu. Termasuk memberikan akses air bersih untuk masyarakat rentan.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY menilai penting untuk dilakukannya perbaikan pengelolaan air secara terpadu. Termasuk memberikan akses air bersih untuk masyarakat rentan.

"Terutama, saat ini kondisi air dan pengelolaannya telah pada tingkat memperihatinkan," kata Ketua FPRB DIY, M Taufiq AR dalam keterangan resminya yang sudah diizinkan untuk dikutip Republika, Jumat (5/5/2023).

Disampaikan bahwa dalam sepekan sejumlah daerah di DIY darurat air bersih. Mulai dari matinya PDAM di Kabupaten Kulon Progo yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan air masyarakat.

Selain itu, WALHI dan FPRB juga menyebut bahwa hampir seluruh air sumur tidak layak konsumsi di Kota Yogyakarta. Bahkan, kualitas air sungai dan embung juga dikatakan tercemar melewati batas baku mutu.

"Sekalinya hujan deras, banjir terjadi," ujarnya.

Taufiq menyebut bahwa Kajian Risiko Bencana (KRB) Provinsi DIY 2022-2026 menunjukkan bahwa 3.675.662 jiwa berpotensi terpapar bencana kekeringan di DIY. Kondisi saat ini menjadi alarm kedaruratan, bahwa situasi air dan pengelolaannya sedang tidak baik-baik saja.

"Terutama dengan mengetahui potensi keterpaparan masyarakat atas bencana kekeringan berdasarkan KRB DIY, ditambah dengan pencemaran pada sumber air," jelas Taufiq.

Ia menuturkan, masalah penurunan kualitas air ini bukan temuan baru, justru semakin buruk dari tahun ke tahun. Sejak 2015, melalui Survei Kualitas Air (SKA) Yogyakarta yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik telah menunjukkan 67,1 persen rumah tangga memiliki air siap minum yang terkontaminasi bakteri E-coli.

"SKA ini juga telah memberikan peringatan bahwa daerah perkotaan lebih terkontaminasi dibandingkan perdesaan," katanya.

Taufiq menegaskan bahwa dengan hanya mengandalkan PDAM, juga berarti membatasi opsi dan akses masyarakat untuk air bersih. terlebih, saat ini hampir seluruh Yogyakarta berisiko kekeringan tingkat sedang ke tinggi.

Potensi keterpaparan masyarakat atas bencana kekeringan, ditambah dengan pencemaran pada sumber air menjadi bukti jauhnya masyarakat atas pemenuhan hak atas air. Tidak adanya air bersih membuat kelompok rentan akan semakin rentan dan dirugikan, terutama mereka yang tidak dapat membeli air bersih.

"Bencana kekeringan dan buruknya kualitas air di perkotaan berkontribusi terhadap persoalan kemiskinan serta kesehatan, khususnya kasus stunting, dua hal yang masih menjadi tantangan besar di DIY," tambah Taufiq.

Sementara itu, Direktur WALHI Yogyakarta, Gandar Mahojwala mengatakan, dari data RPJMD DIY 2022-2027, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) DIY pada periode 2018-2022 berkisar pada angka 60,05-61,60. Kondisi IKLH DIY saat ini berada di bawah nilai IKLH nasional sebesar 70,27, dengan klasifikasi nilai IKLH DIY masuk dalam kategori kurang baik.

Dijelaskan, komponen pembentuk IKLH dengan kisaran nilai paling rendah yaitu Indeks Kualitas Air (IKA), dengan nilai IKA periode 2018-2022 pada kategori kurang dengan tren mengalami penurunan dari 40,35 menjadi 32,14. Penurunan indeks kualitas air ini, katanya, disebabkan tingginya angka coli total dan coli tinja dari aktivitas domestik dan pertanian, serta aktivitas industri.

"Beralih ke PDAM tanpa memperbaiki pencemaran, hanya menunda masalah menjadi lebih berkepanjangan. Jika hanya bergantung pada PDAM, maka kejadian matinya suplai air dari PDAM seperti di Kulon Progo bisa meluas. Masyarakat akan semakin jauh dari pemenuhan hak atas air," kata Gandar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement