REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) meminta setiap sekolah untuk menyesuaikan kegiatan pembelajaran pada para siswa dengan kondisi perubahan cuaca atau iklim agar kesehatan anak tetap terjaga. "Perubahan iklim jelas bisa mengganggu sistem dan aktivitas pembelajaran, ini perlu diperhatikan," kata Ketua Satgas Bencana IDAI Kurniawan Taufiq Khadafi dalam Media Brief Virtual Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan Anak yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa (2/5/2023).
Khadafi menuturkan, perubahan iklim bisa memicu terjadinya cuaca ekstrem seperti terjadinya presipitasi, curah hujan meningkat hingga banjir. Hal tersebut membuat waktu anak-anak untuk belajar di sekolah menjadi lebih pendek karena ada kemungkinan untuk diliburkan. Meskipun saat ini Indonesia sedang mengalami suhu panas dan kondisinya tidak seekstrem di Thailand, Bangladesh atau India, namun IDAI mengimbau agar sekolah tetap mengantisipasi agar setiap anak terhindar dari dehidrasi.
Ia menyoroti adanya mata pelajaran seperti olah raga yang dominannya mengharuskan anak berkegiatan di luar kelas. Jika cuaca tidak memungkinkan untuk berolahraga di luar, ia menyarankan guru segera menyesuaikan diri dengan mengajak para siswa berkegiatan di dalam ruangan saja.
Langkah ini dilakukan guna memastikan suhu tubuh anak tetap normal dan tidak kekurangan cairan tubuh. Jika situasi ini diabaikan, dikhawatirkan banyak anak akan terserang heat stroke atau sebuah kondisi dimana tubuh tidak dapat mengontrol suhu badan akibat sengatan dari cuaca yang amat panas.
"Heat stroke itu saking panasnya, dia bisa pingsan. Untuk mengantisipasi itu pada anak-anak, kita harus sarankan mereka lebih banyak dan sering minum apalagi di cuaca seperti ini," ujarnya.
Sebaliknya, bila cuaca dirasa sangat dingin para guru harus memastikan agar suhu ruangan tetap terjaga hangat agar anak-anak yang utamanya duduk di bangku taman kanak-kanak (TK) tidak mengalami hipotermia atau kedinginan hebat.
Ketua Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso menambahkan, perubahan iklim secara global secara spesifik sudah bisa dirasakan pascalibur Lebaran tahun ini. Dikhawatirkan perubahan iklim dapat memicu berbagai macam dampak buruk pada anak-anak sebagai salah satu kelompok rentan, utamanya yang berusia 0-18 tahun.
Dengan demikian, ia menyarankan sebisa mungkin anak-anak dapat menghindari perubahan cuaca seperti suhu panas yang terjadi baru-baru ini, dengan lebih banyak beraktivitas di dalam ruangan.
"Masalah perubahan iklim ini akan berbeda di tiap negara, yang empat musim dengan negara dua musim tentu saja berbeda. Tetapi pada prinsipnya anak adalah kelompok rentan, yang harus dilindungi, dan karakter anak adalah tumbuh juga berkembang. Perubahan iklim tidak boleh menghalangi mereka untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan baik," ujarnya.