Selasa 25 Apr 2023 01:26 WIB

Lima Opsi Koalisi Pilpres 2024 Menurut Pengamat

Pilpres hanya dengan dua pasang calon harus dihindari agar tak terjadi polarisasi.

Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menjawab pertanyaan wartawan usai menunaikan Shalat Idul Fitri di Masjid Raya Sheikh Zayed, Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (22/4/2023). Pada tahun ini umat Muslim merayakan Idul Fitri 1444H pada hari  yang berbeda, yakni Jumat (21/4/2023) dan Sabtu (22/4/2023).
Foto:

Adapun, pengamat politik Universitas Jember, Muhammad Iqbal mengatakan capres yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo diprediksi bisa duet (berpasangan) atau duel (lawan) Prabowo Subianto dalam Pemilu Presiden 2024.

"Kemungkinan bisa terjadi duet Ganjar dengan Prabowo karena Presiden Joko Widodo di hari Lebaran di Solo menyebut nama Prabowo bisa saja menjadi cawapres Ganjar, tentu jika Prabowo rela downgrade dirinya jadi wapresnya Ganjar," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jember, Senin.

Namun bisa saja terjadi duel antara Ganjar dengan Prabowo karena muncul realitas politik dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang akhirnya memutuskan Ganjar sebagai capres yang diusung PDIP. Padahal Presiden Jokowi lebih sreg menyebut Prabowo sebagai presiden penerusnya.

Selain itu, lanjut dia, posisi duel atau duetnya Ganjar dan Prabowo juga ditentukan oleh apakah laju elektoral Anies Baswedan makin tak terbendung atau kian merosot jelang Pemilu 2024.

"Jika pada momentum bulan-bulan menjelang pendaftaran capres pada 19 Oktober 2023, elektabilitas Anies makin menguat dan terus mengancam posisi capres PDIP dan Gerindra itu, maka sangat mungkin terjadi duet Ganjar-Prabowo melawan Anies," tuturnya.

Namun, sebaliknya, jika elektabilitas Anies kian merosot dan dianggap bukan lagi ancaman, maka kontestasi pilpres akan diwarnai 'drama' duel Ganjar dan Prabowo.

"Kalau saya membaca, apapun arah duet atau duel antara Ganjar dan Prabowo di Pilpres 2024 itu sejatinya tidak ditujukan untuk membangun kematangan esensi demokrasi, tapi lebih condong pada politik transaksional untuk semata meraih jabatan kekuasaan atau mengamankan pembangunan proyek strategis nasional Presiden Jokowi," katanya.

Pakar komunikasi itu mengatakan indikator esensi demokrasi adalah untuk menciptakan keadilan sosial dan supremasi penegakan hukum dan indikator lain adalah terbentuknya proses check and balances melalui kekuatan oposisi di parlemen, menguatnya pelembagaan antikorupsi dan pelindungan pada keadilan HAM, lingkungan dan kebebasan kritik masyarakat sipil.

"Dua periode pemerintahan Jokowi terbukti oleh sejumlah laporan lembaga nasional dan internasional, mengalami kemerosotan indeks pada sejumlah indikator tersebut," katanya.

Misalnya masifnya persekusi, kriminalisasi dan ketidakadilan penegakan hukum serta maraknya pembungkaman kritik dari masyarakat. Parahnya lagi, nyaris tidak terjadi kekuatan oposisi parlemen setelah Jokowi membentuk koalisi besar partai politik di parlemen dengan menawarkan posisi kekuasaan di kabinet pemerintahan.

"Maka, arah duet atau duel antara Ganjar dan Prabowo sejatinya hanyalah strategi transaksional politik untuk melanggengkan status quo," ucap pengajar ilmu Hubungan Internasional FISIP Unej itu.

Ia mengatakan, pada konteks itulah tesis ilmuwan politik Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menjadi penting menandai lonceng kematian demokrasi Indonesia. Karena, para elite politik kekuasaan secara perlahan merobohkan sendi, esensi dan proses demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Cegah polarisasi

Pengamat politik sekaligus akademisi Universitas Bengkulu, Panji Suminar mengatakan, sebaiknya Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan maju semua menjadi capres di Pemilu 2024. Tujuannya guna mencegah polarisasi seperti yang pernah terjadi di pilpres-pilpres sebelumnya.

"Dengan maju ketiganya malah itu lebih baik bagi Indonesia, memberikan dampak positif," kata Panji Suminar di Bengkulu, Senin (24/4/2023).

Dengan tiga poros yang bersaing, menurut dia efek polarisasi di masyarakat seperti di pemilu sebelumnya malah bisa lebih ditekan. Masyarakat akan terpecah dukungan kepada tiga pasang kandidat.

"Kalau dua pasang saja, itu nanti akan langsung berhadap-hadapan seperti di pemilu sebelumnya, potensi keterbelahannya malah semakin tinggi," kata dia.

Dengan pemilu presiden tiga pasang, pilihan pasangan calon presiden lebih beragam, dukungan masyarakat juga lebih heterogen. Dan tentunya tidak akan terjadi saling serang antardua kubu yang hanya akan membahayakan keamanan dan ketertiban.

"Kemungkinan polarisasi hanya pada putaran kedua, ketika pasangan calon sudah tinggal dua pasang. Namun jarak dari putaran pertama dengan yang kedua tidak begitu jauh, jadi polarisasi memang mungkin terjadi namun tidak seberbahaya pemilu hanya dengan dua kandidat saja," ucapnya.

Menurut Panji, pemilu tiga pasang calon sangat memungkinkan pada pesta demokrasi 2024 ini. Anies Baswedan sudah menemukan "perahunya", Partai Demokrat, NasDem dan PKS.

Kemudian, Prabowo Subianto sudah punya pasangan yakni Muhaimin Iskandar. Gerindra dan PKB sejak awal pendaftaran parpol sudah mengisyaratkan koalisi.

Dan, PDIP telah mengumumkan calon presidennya yakni Ganjar Pranowo. Parpol pimpinan Megawati Soekarnoputri itu tinggal menentukan calon wakil presiden yang akan menjadi tandem Ganjar. "Berkoalisi tidak berkoalisi PDIP bisa mengusung pasangan capres, namun untuk memastikan kemenangan mereka sepertinya akan menarik dukungan dari luar Jawa untuk cawapres atau representasi religius. Itu bisa dengan berkoalisi dengan parpol representasi religius," ujarnya.

 

photo
Elektabilitas Ganjar Pranowo anjlok. - (infografis Republika)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement