REPUBLIKA.CO.ID,PADANG-- Sosiolog dari Universitas Negeri Padang (UNP) Erianjoni, mengatakan kekerasan dalam bentuk persekusi atau perundungan terhadap dua wanita pemandu lagu yang videonya viral, merupakan fenomena yang tak bisa dibenarkan. Menurut dia, yang dilakukan masyarakat terhadap dua pemandu karaoke tersebut telah melanggar nilai-nilai humanistik, meskipun motif para pelaku (persekusi) adalah membebaskan wilayahnya dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
“Ini secara normatif tentu tidak dibenarkan, karena melanggar nilai-nilai humanistik. Nilai-nilai kemanusiaan. Walaupun dalam motif pelaku punya muatan ingin membebaskan wilayahnya dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang sebagai labeling yang diberikan kepada wanita pemandu karaoeke tersebut, tetapi secara metode kontrol sosialnya sangat salah dan melawan hukum,” kata Erianjoni, Kamis (13/4/2023).
Menurut Eri, di luar faktor tersebut, persekusi juga terjadi karena tidak adanya regulasi dan ketegasan pemerintah daerah dalam membatasi aktivitas tempat hiburan, terutama selama bulan Ramadhan.
Misalnya, seperti di Kota Padang dan Bukittinggi sudah ada regulasi yang mengatur untuk menegakkan Perda terhada hiburan malam.
"Indikasi di daerah Pesisir Selatan tidak tampak kinerja Satpol PP dalam menegakkan regulasi. Akibatnya sekolompok massa tidak sabaran dan mudah disulut amarah karena dalam kondisi psikososial yang tidak stabil,” kata dia.
Hal yang menarik dari kacamata Erianjoni, warga lupa dengan mekanisme musyawarah dan ninik mamak yang selama ini dianut masyarakat Minang.
Menurut dia, masyarakat lupa dan seolah-olah kehilangan mekanisme musyawarah dan pelibatan institusi lokal ninik mamak dan alim ulama dalam menghadapi masalah ini.
Karena itu, menurutnya warga perlu diedukasi dalam masalah hukum. Salah satunya dengan memberikan sanksi pada pelaku, sehingga memberi efek jera dan pembelajaran di masa datang untuk main hakim sendiri.
Dua wanita pemandu lagu salah satu cafe yang ada di kawasan Pasir Putih Kambang, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat menjadi korban persekusi sekelompok orang. Keduanya diarak dan diceburkan ke laut malam-malam, lalu ditelanjangi.