REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Presiden KSPI dan Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, pihaknya akan terus mendukung Mahfud MD terkait dugaan pencucian uang senilai Rp 349 triliun. Dia berharap, dari upaya itu ada hasil untuk membongkar dugaan tindak korupsi dan pencucian uang di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu.
“Kita pastikan pak Mahfud membongkar apa yang terjadi di Kemenkeu. Partai buruh akan mengawal dengan aksi-aksinya,” kata Said Iqbal saat melakukan aksi di DPR, Selasa (4/4/2023).
Menurut dia, tindakan yang dilakukan terduga sangat menyakitkan pihak buruh. Apalagi, kata dia, saat pajak yang dibayarkan para pekerja malah digunakan hal yang tidak-tidak oleh pejabat terkait.
“Partai buruh mendukung perjuangan beliau untuk membongkar habis tikus-tikus koruptor,” ucapnya.
Terpisah, Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, ada banyak dampak dari skandal kekayaan Rafael Alun Trisambodo hingga isu pencucian uang Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Menurut dia, ancaman paling nyata adalah turunnya rasio pajak atau tax ratio terhadap PDB yang mencapai di bawah sembilan persen.
Padahal, proyeksi sejak 2022 lalu, tax ratio kerap diperkirakan di atas sembilan persen. “Ini jadi ancaman rasio pajak bisa turun di bawah sembilan persen,” kata Bhima saat dikonfirmasi.
Tak sampai di sana, risiko lain dari ketidakpercayaan publik menyoal isu yang ada dia sebut bisa meluas. Mayoritas wajib pajak perorangan akan menyembunyikan harta.
“Itu bisa mempersulit pemeriksaan pajak,” tutur dia.
Ditanya cara penyelesaian yang ada, perlu ada penanganan menyeluruh. Utamanya, penanganan dugaan tindak pencucian uang di DJP seperti yang diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD senilai Rp 349 triliun.
“Secara pararel sepertinya perlu ada perombakan total jabatan di Kemenkeu,” jelas Bhima.
Menyoal sebab pelaporan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak 2023 yang jauh dari target karena Rafael, dia tak menampiknya. Menurut dia, faktor minimnya pelaporan SPT OP (orang pribadi) dipastikan dipengaruhi isu kepercayaan publik terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Apalagi, kata dia, isu skandal pencucian uang yang ada di DJP bernilai sangat besar. “Karena skandal pencucian uang ini kan nilainya besar sekali Rp 349 triliun,” kata Bhima.
Namun demikian, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menjadi pihak yang menolak pembentukan panitia khusus (pansus) DPR untuk mendalami transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Alasannya, pendalaman terhadap dugaan tindak pidana pencucian uang itu harus dilakukan oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
Politikus PDIP itu mengacu kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 117 Tahun 2016 tentang Komite Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Di dalamnya, payung hukum tersebut mengatur tugas menko polhukam dalam mengaudit dan mengonsolidasi komite tersebut.
"Pak Menko Polhukam inilah yang mesti lakukan audit, mengonsolidasi, jadi Bambang tidak setuju pansus, today," ujar Bambang dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Mahfud MD di gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (29/3/2023) malam WIB.
Bambang juga menyoroti kewenangan pihak yang berhak menerima laporan berkala dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, hanya dua lembaga yang berhak menerima laporan dari PPATK, yakni presiden dan DPR.