Rabu 29 Mar 2023 18:49 WIB

Mahfud Duga Jajaran Kemenkeu Tutupi Laporan PPATK Sejak 2017 dari Sri Mulyani

Mahfud MD menilai Sri Mulyani tidak mempunyai akses terhadap laporan ini.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) Sekaligus Menko Polhukam Mahfud MD saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR di Kompleks Perlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023). Rapat tersebut membahas transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan yang bernilai Rp 349 triliun.
Foto: Republika/Prayogi.
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) Sekaligus Menko Polhukam Mahfud MD saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR di Kompleks Perlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023). Rapat tersebut membahas transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan yang bernilai Rp 349 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD menyampaikan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan data yang salah kepada Komisi XI DPR terkait transaksi mencurigakan sebesar Rp 394 triliun. Ia menjelaskan, hal tersebut bukan dikarenakan Sri Mulyani yang ingin menipu DPR.

"Kesimpulan saya, Bu Sri Mulyani tidak punya akses terhadap laporan-laporan ini. Sehingga keterangan yang terakhir pun di Komisi XI itu jauh dari fakta, karena bukan dia nipu, dia diberi data itu, data pajak, data bea cukai, tadi penyelundupan emas itu," ujar Mahfud dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3).

Baca Juga

"Ya tidak tahu siapa yang bohong, tapi itu faktanya," sambungnya menegaskan.

Mahfud mengungkapkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menyampaikan laporan hasil analisis (LHA) dugaan tindak pidana pencucian uang pada 2017. Namun rupanya, laporan tersebut tak sampai ke tangan Sri Mulyani.

"Laporan itu diberikan tahun 2017, oleh PPATK, bukan tahun 2020. Tahun 2017 diberikan tidak pakai surat, tapi diserahkan oleh Ketua PPATK langsung kepada Kementerian Keuangan yang diwakili Dirjen Bea Cukai, Irjen Kementerian Keuangan, dan dua orang lainnya," ujar Mahfud.

Pada 2017, PPATK sengaja tak memberikan laporannya memakai surat karena sensitifnya data tersebut. Sri Mulyani baru mengetahui adanya transaksi mencurigakan tersebut pada 14 Maret 2023, saat pertemuannya dengan PPATK.

"Dua tahun tidak muncul tahun 2020 dikirim lagi, tidak sampe ke Bu Sri Mulyani, sehingga bertanya ketika kami kasih itu dan yang dijelaskan yang salah," ujar Mahfud.

Salah satu kesalahan Sri adalah saat menyampaikan nilai transaksi Rp 3,3 triliun yang merupakan akumulasi transaksi debit kredit pegawai Kemenkeu kepada Komisi XI DPR. Sri menjelaskan, nilai itu termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, dan jual beli harta untuk kurun waktu 2009-2023 yang telah ditindaklanjuti.

Namun Mahfud menyampaikan data yang benar, nilai transaksi yang sebenarnya adalah Rp 35,5 triliun. Nilai tersebut melibatkan 461 entitas dari aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 11 entitas dari ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 non ASN.

"Transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kementerian Keuangan, kemaren Ibu Sri Mulyani di Komisi XI hanya Rp 3 triliun, yang benar 35 triliun," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) itu.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement