Pada 14 Maret 2023, PPATK menyampaikan bahwa dugaan transaksi sebesar Rp 300 triliun bukan merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU) maupun praktik korupsi yang dilakukan oleh pegawai Kementerian Keuangan.
Hal itu disampaikan langsung oleh Kepala PPAT kepada awak media, Ivan Yustiavandana usai bertemu dengan Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara dan Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan di Kantor Pusat Kemenkeu, Jakarta, Selasa (14/3/2023).
"Tapi, lebih kepada kasus-kasus yang kami sampaikan ke Kemenkeu dalam posisi Kemenkeu sebagai Penyidik Tindak Pidana Asal dari kasus-kasus kepabeanan, cukai, dan perpajakan. Disitulah kami serahkan hasil analisis dan pemeriksaan kepada Kemenkeu untuk ditindaklanjuti," kata Ivan, Selasa (14/3/2023).
Belakangan Mahfud mempertanyakan soal penjelasan itu. Selepas pulang dari Australia ia pun siap buka-bukaan terkait dengan informasi tersebut. Ia mempertanyakan jika uang itu bukan korupsi dan pencucian uang, lalu apa?
Dalam rapat terakhir bersama DPR pada Seni (21/3/2023), Kepala Pusat PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan, dalam temuan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp 349 triliun ada indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal tersebut merupakan jawabannya ketika ditanya oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa.
"Ada pencucian uang, kami tidak pernah satu kalipun menyatakan tidak ada pencucian uang," tegas Ivan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III, Selasa (21/3).
Namun, temuan tersebut bukan berarti bahwa tindak pidana tersebut sepenuhnya dilakukan oleh Kemenkeu. Penyerahan laporan kepada PPATK adalah bagian tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal. "Itu kebanyakan terkait dengan kasus impor-ekspor, kasus perpajakan, di dalam satu kasus saja kalau kita bicara ekspor-impor itu bisa lebih dari 100 triliun, lebih dari 40 triliun, itu bisa melibatkan," ujar Ivan.
Ia mengungkapkan, ada tiga kategori dalam penyerahan laporan hasil analisis (LHA) dari PPATK. Pertama adalah LHA yang diserahkan terkait dengan oknum. Kedua, LHA yang menemukan indikasi tindak pidana dan oknumnya sekaligus.
Terakhir adalah penyampaian LHA yang menemukan tindak pidana asalnya, tapi tidak menemukan oknumnya. Artinya, temuan sebesar Rp 349 triliun tak bisa dikatakan berasal dari kementerian yang dipimpin Sri Mulyani itu. "Jadi sama sekali tidak bisa diterjemahkan kejadian tindak pidananya itu ke Kementerian Keuangan, ini jauh berbeda. Jadi kalimat di Kementerian Keuangan itu juga kalimat yang salah, itu yang menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan," ujar Ivan.
"Sama halnya dengan kami serahkan kasus korupsi ke KPK, itu bukan tentang orang KPK, tapi lebih kepada karena tindak pidana korupsi itu, penyidik TPPU, dan pidana asalnya adalah KPK," kata dia melanjutkan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani terus bekerja sama dengan PPATK dalam mengusut dugaan transaksi mencurigakan hingga Rp 349 triliun. Sri menyinggung adanya transaksi mencurigakan hingga Rp 189 triliun dari satu laporan PPATK.
Sri memerinci satu surat yang sangat menonjol dari PPATK adalah surat nomor 205/PR.01/2020 yang dikirimkan pada 19 Mei 2020. Pada saat itu, Indonesia masih mengalami pandemi Covid-19.
Sri mengatakan Kemenkeu langsung menindaklanjuti surat dari PPATK itu lewat kantor Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Kecurigaan ini didasari besarnya angka transaksi. "Disebutkan PPATK ada 15 individu dan entitas itu perusahaan dan nama orang yang tersangkut 189 triliun tersebut," ujar Sri.