Ahad 19 Mar 2023 16:11 WIB

Ketua MPR Minta Sistem Pemilihan Langsung Dikaji Ulang Diganti Keterwakilan

Bamsoet tidak ingin demokrasi yang dianut oleh Barat memecah belah bangsa Indonesia.

Rep: Febryan A/ Red: Erik Purnama Putra
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyosialisasikan empat pilar kebangsaan di acara peringatan sembilan tahun UU Desa di Parkir Timur Senayan GBK, Jakarta, Ahad (19/3/2023).
Foto: Republika/Febryan A
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyosialisasikan empat pilar kebangsaan di acara peringatan sembilan tahun UU Desa di Parkir Timur Senayan GBK, Jakarta, Ahad (19/3/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai, penerapan sistem pemilihan langsung atau pencoblosan dalam pemilihan umum (pemilu), termasuk pemilu presiden (pilpres) di Indonesia harus dikaji ulang. Pasalnya, sila keempat Pancasila mengamanatkan sistem musyawarah atau keterwakilan.

"Saya sudah mendorong para perguruan tinggi untuk mengkaji kembali apakah sistem yang kita jalankan hari ini, demokrasi yang kita jalankan hari ini dengan pemilihan langsung, dengan apa yang terjadi pada hari ini lebih banyak mudaratnya atau manfaatnya. Ini saya minta dikaji kembali," kata Bamsoet saat acara Peringatan 9 Tahun UU Desa di Istora Senayan, Jakarta Pusat, Ahad (19/3/2023).

"Jati diri bangsa Indonesia sesungguhnya adalah musyawarah kemufakatan kepemimpinan atau keterwakilan," ucap Bamsoet melanjutkan.

Menurut dia, sistem pemilihan langsung yang diterapkan sekarang menimbulkan perpecahan masyarakat. Salah satu contohnya adalah gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, yang membuat masyarakat terbelah hingga kini.

"Saya tidak ingin demokrasi yang dianut oleh Barat memecah belah bangsa kita. Pilih lurah berantem, pilih kepala desa berantem, pilih bupati, wali kota berantem, pilih gubernur berantem. Pilih presiden residunya sampai sekarang keterbelahaan itu masih kita rasakan," ujar politikus Golkar itu.

Karena itu, Bamsoet meminta perguruan tinggi memikirkan sistem demokrasi yang cocok diterapkan di Indonesia. "Kita perlu pikirkan bagaimana demokrasi yang cocok bagi Indonesia. Ini PR kita bersama," ucapnya di hadapan ribuan perangkat desa dan kepala desa yang hadir.

Acara peringatan sembilan tahun Undang-Undang Desa bertajuk 'Membangun Indonesia dari Desa' ini digelar oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), DPN Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI), dan Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (Abpednas). Mereka memperingati UU Desa yang disahkan menjadi undang-undang pada 15 Januari 2014 atau pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Mereka menyuarakan tiga isu dalam acara ini, yakni 10 persen APBN dialokasikan untuk Dana Desa, menolak penundaan pemilihan kepala desa (pilkades) 2023, dan menetapkan 15 Januari sebagai Hari Desa Nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement