REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengapresiasi langkah Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta yang tidak menerapkan restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif, dalam penanganan kasus penganiayaan David Ozora oleh Mario Dandy Satrio.
”Langkah Kejati tepat. Kemarin, keliru dia (mengusulkan keadilan restoratif),” kata Abdul Fickar Hadjar, dalam siaran pers, Jumat (17/3).
Dijelaskannya, ada dua aspek dalam tindak pidana, perbuatan dan kerugian. Sementara itu, restorative justice hanya menyangkut kerugian yang diderita korban, tetapi penuntutan hukum harus tetap berjalan. “Makanya, dikeluarkan Perma (Peraturan Mahkahamah Agung) bahwa kasus (keadilan) restoratif enggak jalan kalau tidak pidana (ancamannya) di bawah 7 tahun,” papar Abdul Fickar.
Sementara itu dalam kasus penganiayaan David Ozora, kata dia, para pelaku terancam hukuman hingga 12 tahun penjara. Mereka dijerat Pasal 355 KUHP tentang penganiayaan berat.
"Ini kan penganiayaan berat yang mengakibatkan orang sakit berat walaupun tidak meninggal dunia, Pasal 355 KUHP. Maka, tidak bisa di-restorative justice tindak pidananya," jelasnya.
Kalau kerugian diganti pelaku, silakan saja itu. “Nanti penggantian ganti rugi berpengaruh terhadap putusan hakim jadi meringankan (hukuman pelaku) itu soal lain. Itu ranah hakim,” papar Abdul Fickar.
Ia meminta masyarakat terus mengawal kasus ini hingga ke meja hijau. “Harus dikawal sampai pengadilan,” kata dia.