Jumat 17 Mar 2023 08:52 WIB

Negara Dinilai Gagal Lindungi Masyarakat dari Paparan Asap Rokok

Mayoritas perokok pasif belum memiliki keberanian suarakan bahaya asap rokok

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Rokok (ilustrasi). Persoalan perokok pasif di Indonesia menjadi hal problematik di Indonesia. Hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adults Tobacco Survey-GATS) yang dilaksanakan tahun 2011 dan diulang pada tahun 2021 dengan melibatkan sebanyak 9.156 responden menunjukkan prevalensi perokok pasif tercatat 120 juta orang.
Foto: www.pixabay.com
Rokok (ilustrasi). Persoalan perokok pasif di Indonesia menjadi hal problematik di Indonesia. Hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adults Tobacco Survey-GATS) yang dilaksanakan tahun 2011 dan diulang pada tahun 2021 dengan melibatkan sebanyak 9.156 responden menunjukkan prevalensi perokok pasif tercatat 120 juta orang.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Persoalan perokok pasif di Indonesia menjadi hal problematik di Indonesia. Hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adults Tobacco Survey-GATS) yang dilaksanakan tahun 2011 dan diulang pada tahun 2021 dengan melibatkan sebanyak 9.156 responden menunjukkan prevalensi perokok pasif tercatat 120 juta orang.

Sayangnya hingga kini, mayoritas perokok pasif belum memiliki keberanian menyuarakan ketakutan mereka terhadap bahaya asap rokok. Mereka lebih sering memilih mengalah dengan menutup hidung, menghindar, alih-alih menegur.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi (PBHI) Julius Ibrani, mengatakan bahwa dalam hal ini, negara seharusnya hadir dengan membentuk regulasi yang kuat, untuk melindungi kesehatan masyarakat khususnya dari bahaya zat adiktif. Namun menurut dia, negara telah lalai melindungi masyarakat dari paparan asap rokok. 

"Dan di saat negara lalai, lanjut dia, yang dibutuhkan adalah resistensi dari warga. Dalam kondisi resisten, kita seharusnya menyerang balik, karena kita punya hak asasi untuk mendapatkan udara bersih," tegas Julius dalam seminar di FKM Universitas Indonesia, Depok, Kamis (16/3/2023).

Hanya masalahnya, kata Julius, saat ini para perokok merasa nyaman karena mereka merasa berada di dalam wilayah lokalisasi merokok. “Karena perokok merasa Indonesia adalah Kawasan lokalisasi merokok maka mereka merasa punya hak untuk merokok,” ujar dia. 

Sebagai solusi, Julius menekankan pentingnya upaya guna meningkatkan standar bahwa Indonesia itu bukanlah kawasan lokalisasi merokok. Diantaranya dengan menegakkan regulasi, agar para perokok tidak merasa Indonesia sebagai tempat yang nyaman untuk merokok.

Masyarakat, tegas Julius, juga seharusnya melawan dengan melakukan gugatan kepada pemerintah supaya regulasi bisa ditegakkan. Ia mencontohkan kasus gugatan yang disampaikan oleh warga di 3 provinsi, yakni provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta, yang berhasil menggugat Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat untuk memenuhi hak atas udara bersih.

"Jadi sudah saatnya masyarakat, perokok pasif, untuk melakukan perlawanan, resistensi, tidak bisa lagi hanya diam," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement