REPUBLIKA.CO.ID, Perubahan iklim yang terjadi membawa dampak menghilangnya keanekaragaman hayati atau biodiversitas secara jangka panjang. Kalau keanekaragaman hayati berkurang, maka sistem penunjang kehidupan juga akan melemah.
"Kadang orang tidak segera menangkap situasi itu dan seolah biasa-biasa saja," kata Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Sarwono Kusumaatmadja.
Sarwono menjelaskan, perubahan iklim yang terjadi akibat laju pemanasan global telah meningkatkan tekanan terhadap alam mulai dari polusi udara, air bersih yang semakin sedikit, berbagai bencana hidrometeorologi hingga kekeringan.
Situasi itu membawa pengaruh terhadap keanekaragaman hayati, terkhusus di Indonesia, sebab perubahan iklim terjadi secara global. Perubahan iklim bisa membunuh tumbuhan dan hewan secara mendadak akibat gelombang panas air laut ataupun kenaikan suhu bumi.
Menurut catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia merupakan rumah bagi tumbuhan dunia dan menjadi salah satu pusat agro biodiversitas dunia. Indonesia memiliki 10 persen spesies dari total spesies tumbuhan dunia.
Sementara itu keanekaragaman fauna yang ada di Indonesia sekitar 12 persen dari total mamalia dunia. Spesies terbanyak terdapat di Kalimantan dan jenis spesies endemik tertinggi terdapat di Papua dan Sulawesi.
Sarwono mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari cara dalam memitigasi perubahan iklim dan menyelamatkan kekayaan biodiversitas yang dimiliki oleh Indonesia. Menurutnya, solusi itu berada di tatanan bawah atau masyarakat akar rumput.
Ia menyambut baik kebijakan penurunan emisi sektor hutan dan penggunaan lahan serta peningkatan serapan karbon atau FOLU Net Sink 2030 yang ditelurkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kebijakan penurunan emisi karbon FOLU Net Sink 2030 menggunakan empat strategi utama yakni menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, serta peningkatan serapan karbon.
"FOLU Net Sink ini menyatakan bahwa semua lahan yang berada dalam yurisdiksi KLHK sudah punya rencana maupun program untuk menekan emisi gas rumah kaca, sehingga emisi gas rumah rumah kaca nol pada tahun 2030," kata Sarwono.
"Hal yang perlu diperkuat di tatanan tapak, karena dari tapak penyembuhan itu terjadi dan akan merambat ke atas," imbuh Menteri Lingkungan Hidup pada 1993-1998 tersebut.
Pada Rapat Koordinasi Penanganan Bencana di Jakarta, awal Maret 2023, Presiden Jokowi menyatakan hal yang ditakuti oleh penduduk dunia saat ini bukan lagi pandemi atau perang, melainkan perubahan iklim.
"Sebab, perubahan iklim ini yang menyebabkan frekuensi bencana alam dunia naik drastis," ujar Jokowi.
Indonesia saat ini menduduki posisi tiga negara teratas paling rawan bencana. Selama rentang 12 tahun terakhir, frekuensi bencana alam di Indonesia naik hingga 81 persen dari sebelumnya 1.945 bencana pada 2010, naik menjadi 3.544 bencana pada tahun 2022 lalu.