REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyoroti maraknya tindak kekerasan atau perundungan di satuan pendidikan yang terjadi beberapa waktu ke belakang.
Sepanjang dua bulan pertama pada 2023 sudah tercatat ada enam kasus tindak perundungan atau kekerasan fisik dengan mayoritas terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek.
"Dari enam kasus tersebut 33,33 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama dan 66,67 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek," ujar Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/3/2023).
Dia menjelaskan, kasus tertinggi terjadi di SMK, yaitu tiga kasus atau 50 persen dari total kasus. Sedangkan di MTs, di pondok pesantren, dan di SD masing-masing ada satu kasus perundungan di lingkungan pendidikan.
Berdasarkan lokasi kejadian, perundungan di satuan pendidikan terjadi di tiga provinsi yang meliputi enam kota/kabupaten.
"Di Provinsi Jawa Timur kasusnya terjadi Kabupaten Gresik, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Banyuwangi. Pada Provinsi Jawa Barat kasusnya terjadi di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Garut. Sedangkan untuk Provinsi Kalimantan Timur kasusnya terjadi di Kota Samarinda," ujar Heru.
Adapun kasusnya, yakni santri berusia 13 tahun yang dibakar santri senior di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Lalu ada kepala madrasah di Gresik, Jawa Timur, menampar 15 anak karena jajan di luar kantin sekolah siswa membawa parang ke sekolah di Samarinda karena marah kepada guru olahraganya.
Kemudian ada guru di Garut, Jawa Barat, menampar siswa yang kedapatan merokok dan menyuruh anak lain di kelas tersebut menghukum siswa perokok tersebut.
Berikutnya, di kabupaten Banyuwangi ada siswa SD berusia 11 tahun bunuh diri diduga karena dirundung karena tidak memiliki ayah.
Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah
"FSGI menyampaikan duka mendalam pada keluarga korban MR di Banyuwangi yang diduga mengalami perundungan dari teman-teman di sekolah dan di tempat mengaji, karena tak mendapatkan pertolongan MR kemudian memutuskan bunuh diri," kata Retno.
Retno mengatakan, korban dirudung karena tidak punya ayah yang meninggal setahun yang lalu. Menurut dia, kehilangan ayah tentu merupakan tekanan psikologi berat bagi anak. Ketika masalah psikologi kehilangan itu belum pulih, anak korban justru dirundung lantaran kehilangan ayahnya.
“Seharusnya para guru membangun empati dan simpati pada peserta didik terhadap sesama peserta didik lain yang sedang berduka karena kehilangan ayahnya, bukan malah dibully. Bahkan lebih aneh lagi, sekolah mengaku tidak pernah tahu bahwa MR di-bully teman-teman sekolahnya," jelas Retno.