Rabu 01 Mar 2023 18:44 WIB

Begini Respons Susi Air terkait Tuntutan KKB untuk Pembebasan Kapten Philips

"Jadi zero komunikasi antara kelompok penyandera dengan kami."

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Mansyur Faqih
Pemilik Susi Air Susi Pudjiastuti (tengah), Direktur Susi Air Nadine Pascale Kaiser (kiri) dan Kuasa Hukum Susi Air Donal Fariz (kanan) usai menyampaikan keterangan terkait pembakaran pesawat dan penyanderaan pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens di Jakarta Timur, Rabu (1/3/2023). Susi Pudjiastuti meminta maaf atas kejadian pembakaran dan penyanderaan pilot Susi Air yang berdampak kepada terhentinya 40 persen operasional penerbangan di Papua dan berharap kelompok penyandera bisa membebaskan pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens.
Foto: Republika/Prayogi.
Pemilik Susi Air Susi Pudjiastuti (tengah), Direktur Susi Air Nadine Pascale Kaiser (kiri) dan Kuasa Hukum Susi Air Donal Fariz (kanan) usai menyampaikan keterangan terkait pembakaran pesawat dan penyanderaan pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens di Jakarta Timur, Rabu (1/3/2023). Susi Pudjiastuti meminta maaf atas kejadian pembakaran dan penyanderaan pilot Susi Air yang berdampak kepada terhentinya 40 persen operasional penerbangan di Papua dan berharap kelompok penyandera bisa membebaskan pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak Susi Air tak pernah menerima tuntutan, maupun permintaan langsung dari kelompok kriminal bersenjata (KKB)-Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk kebebasan Kapten Philips Mark Marthens.

Perusahaan maskapai penerbangan perintis-sipil tersebut, pun belum pernah melakukan komunikasi langsung dengan kelompok separatisme bersenjata itu, maupun afiliasinya untuk memastikan keberadaan, ataupun kondisi, serta keselamatan pilot berkebangsaan Selandia baru itu.

Pengacara Susi Air Donald Fariz mengatakan, pihaknya juga tak punya perpanjangan tangan agar dapat membicarakan nasib Kapten Philips dengan KKB. Satu-satunya saluran informasi terkait Kapten Philips sampai saat ini, kata Donald sepihak dari otoritas keamanan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Polri, serta dari pemberitaan media.

“Kelompok penyandera (KKB) tidak mencoba atau tidak melakukan komunikasi apapun kepada perusahaan. Jadi zero komunikasi antara kelompok penyandera dengan kami. Sehingga tidak ada permintaan-permintaan tertentu yang lazimnya kelompok penyandera itu sering lakukan,” begitu kata Donald di Jakarta, Rabu (1/3/2023).

Donald menerangkan, masalah Kapten Philips ini harus membedakan peran dan tanggung jawab negara sebagai otoritas tertinggi pelindung semua warga negara di Indonesia dari aksi-aksi penyanderaan. Termasuk tanggung jawab profesionalitas Susi Air sebagai korporasi yang bertanggung jawab atas keselamatan para krunya.

Namun begitu, kata Donald, tanggung jawab profesionalitas dari Susi Air, tak dapat melakukan hal lebih selain mengharapkan peran maksimal negara dalam penuntasan misi penyelamatan Kapten Philips. 

“Jadi memang cenderung satu arah sekarang. Kami hanya menunggu informasi, dan langkah apa-apa yang dilakukan, dan yang disampaikan oleh pemerintah (Indonesia) melalui TNI dan Polri kepada kami. Karena kami, tidak bisa, dan tidak dapat melakukan komunikasi langsung (dengan KKB). Itulah keterbatasan yang ada di kami,” begitu kata Donald.

Susi Air belakangan memang ada mendengar tuntutan ajuan KKB dari hasil negosiasi dengan sejumlah tokoh-tokoh lokal. Tuntutan tersebut, kata Donald, berupa desakan KKB kepada pemerintah Indonesia untuk menukar Kapten Philips dengan senjata, dan amunisi, serta sejumlah uang. 

Akan tetapi, kata Donald, tuntutan itu tak ditujukan kepada Susi Air sebagai perusahaan yang bertanggung jawab atas keselamatan Kapten Philips. “Kami mendengar ada tuntutan dari negosiasi itu. Dan itu disampaikan oleh otoritas (Indonesia). Tetapi (tuntutan itu) bukan disampaikan kepada kami (Susi Air),” ujar Donald.

“Dan tidak mungkin juga Susi Air memenuhi tuntutan itu,” sambung dia.

Tuntutan meminta senjata dan amunisi tersebut, kata Donald tak mungkin direalisasikan oleh Susi Air. “Karena Susi Air, juga bukan perusahaan yang memproduksi senjata,” terang dia.

Sedangkan adanya permintaan uang, pun itu, jika dimintakan kepada Susi Air, juga tak dapat direalisasikan oleh pihaknya. Donald memastikan, bukan karena Susi Air lepas dari tanggung jawab sehingga tak mungkin memenuhi tuntutan sejumlah uang tersebut.

Akan tetapi kata Donald, permintaan uang tebusan dari KKB itu, pun tak layak direalisasikan melihat kerugian materil yang dialami perusahaannya lantaran aksi-aksi sepihak gerombolan bersenjata Egianus Kogoya tersebut. “Kami tidak tahu berapa jumlah uang yang dimintakan. Tetapi, juga itu tidak mungkin minta uang ke Susi Air, sementara pesawatnya dibakar,” kata Donald.

Dari kalkulasi kerugian materil yang dialami Susi Air dalam penyerangan, dan pembakaran oleh KKB itu, mencapai lebih dari Rp 20 miliar. “Nilai harga pesawat yang dibakar itu saja, sudah 2 juta dolar. Dan itu tidak bisa diganti (yang baru), karena sudah tidak ada produksinya lagi,” terang Donald.

Sebab itu, kata Donald, karena tak ada komunikasi langsung dari KKB terkait tebusan, pun menjadi tak realistis tuntutan KKB  tersebut dapat dipenuhi. “Jadi, kalaulah memang itu (tuntutan) disampaikan, karena yang menyampaikan itu juga dari otoritas (Indonesia), itu tidak bisa dilakukan Susi Air,” sambung Donald.

Perihal tuntutan dari KKB terkait nasib Kapten Philips ini, pekan lalu disampaikan oleh Kapolda Papua Inspektur Jenderal (Irjen) Mathius Fakhiri, Kamis (23/2/2023). Irjen Mathius mengatakan, hasil negosiasi yang dilakukan Indonesia melalui perantara tokoh-tokoh adat, dan agamawan Papua, agar KKB membebaskan Kapten Philips berujung pada permintaan tebusan.

Kelompok separatisme bersenjata tersebut meminta pilot berkebangsaan Selandia Baru itu ditukar dengan senjata dan amunisi, serta sejumlah uang. “Itu dia menyampaikan tuntutan, untuk bisa mengganti pilot dengan senjata, dan amunisi, dan sejumlah uang,” begitu kata Irjen Mathius dalam siaran pers video yang diterima wartawan di Jakarta.

Tuntutan tersebut, kata Mathius dimintakan kepada pemerintah Indonesia. Namun begitu Irjen Mathius memastikan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Polri sebagai otoritas keamanan, dan penindakan hukum meminta agar pemerintah, mengabaikan tuntutan tersebut. “Kita tahu psikologis mereka jika tuntutan itu dipenuhi,” ujar Irjen Mathius.

Namun begitu, usaha dalam misi membebaskan Kapten Philips sampai saat ini, pun juga belum mendapatkan hasil. Sudah 22 hari Kapten Philips dalam penyanderaan KKB, sejak penyerangan dan pembakaran pesawat Susi Air di Lapangan Paro, Nduga, Papua Pegunungan, pada Selasa (7/2/2023) lalu.

Akan tetapi saluran pendekatan sosial-kultur, maupun langkah taktis berupa aksi penindakan hukum, dan militer yang diinisiasi oleh TNI juga Polri, belum ada arah majunya. Irjen Mathius pekan lalu menyampaikan, pasukan gabungan khusus dari TNI, dan Polri sudah mengepung KKB.

Evakuasi warga, dan pekerja sipil di wilayah sulit tersebut, pun sudah dilakukan sejak dua pekan lalu. “Mulai dari Paro, Maguru, Mugi, dan Mapegnduga, ini semua anggota (pasukan) sudah ada di sana semua. Termasuk pengamanan maksimal di Kota Kenyam. Kita tetap melakukan pengawasan, dan menunggu. Apabila kelompok ini keluar, maka penindakan hukum akan dilakukan,” ujar Irjen Mathius.

Sementara Juru Bicara Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) OPM Sebby Sambom dalam pernyataan resminya beberapa waktu lalu memastikan sayap bersenjata kelompoknya, tak bakal melepaskan Kapten Philips. Sebby mengatakan, Kapten Philips adalah tawanan yang hanya dapat ditukar dengan kemerdekaan Papua dari Indonesia.

“Kami TPNPB Kodap III Ndugama, Derakma, tidak akan pernah kasih kembali atau kasih lepas pilot yang kami sandera ini. Kecuali NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) mengakui, dan lepaskan Papua dari negara kolonialnya,” begitu kata Sebby.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement