REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ilmu politik, Philips J Vermonte berpendapat, pemilihan legislatif (Pileg) dengan sistem proporsional tertutup bisa melahirkan anggota dewan yang kompeten. Sebab, sistem itu memberikan peluang kepada partai politik untuk mengusung caleg yang punya kompetensi, meski tidak populer.
"Sistem proporsional tertutup dalam banyak kasus bisa menghasilkan anggota DPR yang lebih punya kemampuan teknokratis (kompeten)," kata Philips dalam Forum Diskusi Denpasar 12, dipantau dari Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai politik. Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh parpol lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.
Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan ataupun parpolnya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi anggota dewan. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019.
Philips menjelaskan, dalam sistem proporsional terbuka, seseorang dipilih karena popularitasnya. Parpol tentu mengutamakan aspek popularitas ini ketika menentukan caleg yang hendak diusung, bukan aspek kompetensi. Masalahnya, orang-orang yang punya kemampuan teknokratis atau berkompeten kerap tidak populer.
Sementara itu, lanjut dia, dalam sistem proporsional tertutup, parpol bisa mengusung calon yang tidak populer tanpa takut kehilangan pemilih. Sebab, pemilih mencoblos parpol. Dengan begitu, parpol bisa mengusung kadernya yang punya kemampuan teknokratis.
"Parpol akan letakkan orang-orang dengan kemampuan menjalankan fungsi (anggota dewan) dalam daftar caleg," kata doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, Amerika Serikat itu.
Sisi positif sistem proporsional tertutup ini, kata Philips, hanya bisa terwujud apabila parpol bisa menciptakan kader yang punya kemampuan teknokratis. Lalu, parpol punya kesadaran pula untuk mengusung orang-orang yang punya kemampuan teknokratis itu.
Dekan Fisip Universitas Islam Internasional Indonesia itu menjelaskan, salah satu bentuk kemampuan teknokratis adalah keahlian legal drafting atau merancang undang-undang. Kehadiran anggota legislatif dengan kemampuan legal drafting akan menjadi solusi atas persoalan buruknya kualitas produk hukum yang dihasilkan parlemen dalam beberapa periode terakhir.
Untuk diketahui, isu terkait sistem pileg ini menjadi perdebatan elite politik dalam dua bulan terakhir. Musababnya, enam warga negara perseorangan mengajukan uji materi atas Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka. Gugatan diajukan saat tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan.
Para penggugat, yang salah satunya merupakan kader PDIP, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. MK kini tengah memproses gugatan tersebut.