REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Beberapa pekan sebelum Rusia menginvasi Ukraina satu tahun lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden berupaya memperingatkan Presiden Rusia Vladimir Putin tentang konsekuensi ekonomi yang akan dihadapi negaranya. Namun ancaman AS tak membuat Rusia mundur. Pada 24 Februari ketika Kremlin memulai serangannya ke Ukraina, Amerika Serikat dan sekutunya telah siap melepaskan serangkaian sanksi dan pembatasan perdagangan yang ditujukan untuk melumpuhkan keuangan Rusia, mengisolasi ekonominya, dan membuat para elite yang berpihak pada Putin menjadi paria.
Dampak awal dari sanksi tampak mematikan, menyebabkan rubel ambruk, sistem perbankan bergetar dan perusahaan di seluruh dunia berhenti mengekspor barang-barang penting ke Rusia. Tapi satu tahun kemudian, Rusia tetap lebih tangguh dari yang telah diprediksi, berkat ekspor minyak dan gasnya. Termasuk manuver cekatan oleh bank sentral dan rebound dalam perdagangan dengan Cina.
Sanksi Barat telah melukai ekonomi dan militer Rusia, serta menyebabkan gesekan di antara para elit. Tetapi sanksi ini tidak cukup untuk mengubah pendirian Putin dan mengakhiri perang.
Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh sekelompok ekonom dan pakar Rusia dengan lebih dari 3.000 individu dan entitas yang dijatuhkan sanksi oleh AS saja, Rusia bisa menjadi negara yang paling banyak terkena sanksi "dalam sejarah manusia". Kendati mengalami pelemahan ekonomi, Rusia terus melakukan serangan militernya di Ukraina.
“Alih-alih pertumbuhan, kami mengalami penurunan. Tapi semua itu jelas bukan keruntuhan, itu bukan bencana. Kami tidak dapat mengatakan bahwa ekonomi Rusia hancur, bahwa Putin kekurangan dana untuk melanjutkan perangnya. Tidak, itu tidak benar,” kata mantan wakil ketua pertama bank sentral Rusia, Sergey Aleksashenko, dalam sebuah diskusi panel di Washington Januari lalu.
Negara Barat memberlakukan batasan keras pada ekspor energi Rusia. Awalnya Barat menghindari pembatasan ekapor energi, karena takut melumpuhkan Eropa dan memperburuk inflasi global. Namun sejak awal Desember, pembatasan baru pada ekspor minyak Rusia telah membantu memperlebar defisit anggaran negara, sehingga mendorong langkah-langkah peningkatan pendapatan darurat oleh Kremlin dan berkontribusi pada penurunan rubel sebesar 19 persen.
Kepala Kantor Koordinasi Sanksi di Departemen Luar Negeri, James O'Brien, mengatakan, sanksi memenuhi tujuan mereka untuk menguras keuangan dan teknologi Rusia yang dibutuhkan untuk mendukung militernya. Tetapi langkah-langkah itu hanya salah satu alat untuk menghentikan perang.
“Mereka harus bekerja dengan alat lain. Saya pikir kami membatasi pilihan Rusia di medan perang, dan sumber daya mereka untuk memulihkan apa yang dilakukannya di medan perang. Dan itu, dikombinasikan dengan bantuan militer dan dukungan sipil untuk Ukraina, makanan (Ukraina) akan memenangkan perang ini," ujar O'Brien, dilaporkan Washington Post, (15/2/2023).
Pada awal invasi, posisi Rusia tampak sangat buruk karena pemerintah negara Barat membekukan sebagian besar cadangan mata uang keras negara itu. Barat juga memberikan sanksi kepada lembaga keuangan dan mengeluarkan bank-bank besar Rusia dari sistem pembayaran internasional SWIFT, yang merupakan tulang punggung perbankan global. Langkah-langkah tersebut memicu kepanikan finansial, serta mendorong antrean panjang di luar ATM karena warga Rusia khawatir mata uang rubel jatuh dan kekurangan uang tunai.
“Ada risiko nyata bank lari pada awal perang dan tak lama setelah sanksi diberlakukan,” kata mantan penasihat wakil ketua pertama Bank Sentral, Alexandra Prokopenko, yang sekarang tinggal di pengasingan di negara Barat.
Mantan perdana menteri Rusia, Mikhail Kasyanov menyatakan, pembekuan cadangan bank sentral akan membuat pemerintah kehilangan sarana untuk mendukung rubel. “Mereka akan menyalakan mesin cetak. Hiperinflasi dan malapetaka bagi perekonomian tidak jauh,” katanya.
Tetapi tindakan balasan cepat oleh bank sentral Rusia segera memulihkan stabilitas. Pejabat menutup pasar, menaikkan suku bunga utama menjadi 20 persen, dan memberlakukan pembatasan kejam pada pertukaran mata uang. Pemerintah juga membatasi penarikan, dan transfer mata uang keras ke luar negeri. Langkah-langkah tersebut telah memperkuat nilai mata uang rubel.
“Sangat sulit bekerja 24 jam di balik pintu tertutup. (Sanksi) itu tidak (membuat) panik. Tapi semua orang terkejut setelah invasi. Tidak ada yang mengharapkan invasi skala penuh dan perang nyata," kata Prokopenko yang meninggalkan Rusia pada akhir Maret 2022.
Sanksi Barat dan pembatasan ekspor pada awalnya membekukan sebagian besar perdagangan dunia dengan Rusia, sehingga menyebabkan jatuhnya impor negara tersebut. Barat juga memutus banyak hubungan perbankan sehingga importir Rusia kesulitan membayar mitra di luar negeri. Menurut laporan lembaga think tank, Silverado Policy Accelerator, pada April, impor Rusia mencapai 43 persen atau di bawah tingkat sebelum perang.
Namun perdagangan Rusia kembali menggeliat karena transaksi dengan Cina. Menurut data ekspor yang dianalisis oleh Silverado Policy Accelerator, pada November, ekspor chip Cina dan Hong Kong ke Rusia telah tumbuh menjadi 55 persen dari rata-rata ekspor chip sebelum perang dari semua negara.
Sejauh ini, Uni Eropa telah mengeluarkan 10 paket sanksi bagi Rusia. Pada Rabu (15/2/2023) Uni Eropa menggelar pertemuan untuk membahas serangkaian sanksi baru terhadap Rusia. Sanksi baru ini dapat menelan kerugian 11 miliar euro dalam perdagangan Rusia.
Uni Eropa akan menyepakati sanksi ke-10 untuk menandai peringatan satu tahun invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari. Tetapi paket sanksi itu harus memenangkan dukungan bulat dari semua negara anggota Uni Eropa.
"Kami melemahkan kemampuan Rusia untuk mempertahankan mesin perangnya. Kami telah mengadopsi sembilan paket sanksi, ekonomi Rusia menyusut. Kita perlu terus menekan," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen kepada Parlemen Eropa.
Von der Leyen mengatakan, paket sanksi ke-10 akan menimbulkan kerugian besar bagi Rusia. Dalam paket sanksi itu, Uni Eropa menargetkan pembatasan pada beberapa penggunaan ganda dan komponen elektronik yang digunakan dalam sistem bersenjata Rusia seperti drone, rudal, dan helikopter. Paket sanksi terbaru ini dapat menargetkan Iran karena membantu perang Rusia.
“Ada juga ratusan drone yang diproduksi di Iran, digunakan oleh Rusia, di medan perang di Ukraina. Drone Iran ini membunuh warga sipil Ukraina, jadi untuk pertama kalinya kami juga menyarankan sanksi yang menargetkan operator ekonomi Iran termasuk yang terkait dengan Garda Revolusi Iran," ujar von der Leyen.
Komisi Eropa telah mengusulkan agar negara-negara Uni Eropa memutus empat lagi bank Rusia dari sistem SWIFT, termasuk bank swasta Alfa-Bank, bank online Tinkoff, dan pemberi pinjaman komersial Rosbank. Selain itu, karet dan aspal akan ditambahkan ke daftar larangan impor Uni Eropa dari Rusia. Uni Eropa juga akan melarang layanan siaran televisi bahasa Arab Russia Today dari wilayahnya.
Larangan lebih lanjut atas ekspor Uni Eropa ke Rusia dimaksudkan untuk menahan kemampuan Moskow memproduksi senjata dan peralatan yang dikerahkan melawan Ukraina. Seorang sumber yang mengetahui tentang paket sanksi tersebut mengatakan, sanksi dalam paket ke-10 mencakup larangan ekspor sirkuit dan komponen elektronik, kamera termal, radio dan kendaraan berat, serta baja dan aluminium yang digunakan dalam konstruksi dan mesin yang melayani keperluan industri dan konstruksi Rusia.
Komisi Eropa juga mengusulkan pembatasan lebih lanjut pada usaha patungan Eropa dengan Rusia, termasuk warga negara Rusia yang duduk di dewan di Eropa. Uni Eropa bertujuan untuk memperluas tindakannya terhadap Rusia dan menutup celah dalam sanksi yang ada, termasuk kontrol lebih ketat pada penjualan data satelit ke Cina. Penjualan ini berisiko diteruskan ke Rusia.
Negara-negara Uni Eropa juga melihat kewajiban pelaporan tambahan untuk melacak aset Rusia di Eropa dengan lebih baik. Karena Eropa mencari cara untuk menggunakan aset Rusia yang dibekukan di bawah sanksi untuk membiayai rekonstruksi pascaperang di Ukraina.
Sejauh ini, Uni Eropa telah menempatkan sekitar 33,8 miliar euro aset bank sentral Rusia di wilayahnya. Menurut pejabat Uni Eropa, jumlah itu lebih besar dari perkiraan 300 miliar dolar AS yang dibekukan di luar Rusia.
Sanksi tidak hanya menyasar ekonomi Rusia. Barat juga menjatuhkan sanksi kepada individu, oligarki, pejabat negara, pejabat militer, hingga pebisnis Rusia.
Uni Eropa telah membekukan aset yang dimiliki oleh oligarki, individu, dan entitas Rusia senilai 13,8 miliar euro. Komisaris Kehakiman Uni Eropa, Didier Reynders, pada Selasa (12/7) mengatakan, aset tersebut dibekukan oleh lima negara anggota Uni Eropa. Namun dia tidak mengidentifikasi lima negara tersebut. Reynders meyakinkan negara anggota Eropa lainnya untuk menjatuhkan sanksi serupa.
"Untuk saat ini, kami telah membekukan dana yang berasal dari oligarki dan entitas lain senilai 13,8 miliar euro, itu cukup besar. Tetapi sebagian besar sanksi ang bernilai lebih dari 12 miliar (euro) berasal dari lima negara anggota, sehingga kami perlu terus meyakinkan yang lainnya untuk melakukan hal serupa," ujar Reynders.
Uni Eropa telah memasukkan 98 entitas dan hampir 1.160 individu Rusia dalam daftar hitam. Reynders mengharapkan, ada kesepakatan politik terkait hukuman baru bagi pihak-pihak yang mencoba melanggar sanksi. Kebijakan tersebut bertujuan untuk membatasi transfer aset kepada anggota keluarga yang tidak dikenai sanksi, dan diharapkan berlaku pada musim gugur.
"Jika demikian, uang itu akan dikembalikan ke dana untuk rakyat Ukraina, dan mengembalikan uang itu kepada rakyat Ukraina setelah penyitaan aset," kata Reynders.
Reynders dan para menteri kehakiman Eropa membahas kerjasama dengan Eurojust, yang merupakan badan peradilan pidana Eropa, untuk membangun bukti dugaan kejahatan perang di Ukraina. Dia mengatakan Eurojust akan menyimpan semua bukti dan bekerja sama erat dengan negara-negara anggota blok Eropa.
"Yang paling penting adalah memiliki koordinasi yang sangat baik, tidak menduplikasi situasi yang berbeda, dan mengumpulkan semua bukti di tempat yang sama," kata Reynders.
Washington telah memberlakukan sanksi terhadap lebih dari 1.300 orang Rusia dalam beberapa tahun terakhir dan lebih dari 1.000 badan hukum Rusia. Sanksi mencegah individu terkait untuk melakukan bisnis dengan perusahaan atau individu AS. Mereka yang melanggar sering kali dikenakan hukuman yang berat.