REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan satu tersangka baru, yakni Ketua Pengurus Yayasan Rumah Sakit (RS) Sandi Karya Makassar, Wahyudi Hardi. Dia merupakan penyuap Hakim Yustisial atau Panitera Pengganti Mahkamah Agung (MA) Edy Wibowo.
"Terkait kebutuhan dari proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka WH (Wahyu Hardi) selama 20 hari pertama," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (17/2/2023).
Penahanan Wahyudi terhitung mulai tanggal 17 Februari-8 Maret 2023 dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan penyidik KPK. Dia bakal mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) KPK pada Pomdam Jaya Guntur.
Kasus ini bermula saat Wahyudi yang merupakan Ketua Pengurus Yayasan Rumah Sakit (RS) Sandi Karya Makassar menjadi perwakilan pihak termohon penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Pengadilan Negeri Makassar. Permohonan ini diajukan oleh PT Mulya Husada Jaya.
Majelis hakim kemudian memutuskan bahwa Yayasan Rumah Sakit Sandi Karya Makassar dinyatakan pailit. Tidak terima dengan putusan itu, pihak rumah sakit selanjutnya mengajukan upaya kasasi ke MA.
Pada Agustus 2022, Wahyudi berinisiatif menyiapkan sejumlah uang agar proses kasasi tersebut dapat dikabulkan. Dia kemudian melakukan pendekatan serta berkomunikasi intens dengan meminta Muhajir Habibie dan Albasri selaku PNS pada MA untuk membantu memonitor serta mengawal proses kasasi perkara yang Panitera Penggantinya adalah Edy Wibowo.
"Sebagai bentuk komitmen tadi, WH diduga memberikan sejumlah uang secara bertahap hingga mencapai Rp3,7 miliar kepada EW (Edy Wibowo)," ungkap Ghufron.
Uang itu diberikan melalui Muhajir dan Albasri. Penyerahan duit suap tersebut dilakukan saat proses kasasi masih berlangsung di MA. "Pemberian sejumlah uang tersebut diduga antara lain mempengaruhi isi putusan dan setelah uang diberikan maka putusan kasasi yang diinginkan WH dikabulkan dan isi putusan menyatakan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit," ungkap Ghufron.
Akibat perbuatannya, Wahyudi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b Pasal 13 atau Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Nomor Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang.