Rabu 15 Feb 2023 15:52 WIB

Suara Lantang Partai Ummat Gaungkan Politik Identitas Vs Peringatan dari Bawaslu

Bawaslu menegaskan, parpol tidak boleh berkampanye di masjid atau rumah ibadah lain.

Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi menyampaikan pidato politiknya dalam acara Rakernas Pertama Partai Ummat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin (13/2/2023). Partai Ummat dengan tegas akan mengusung politik identitas menuju Pemilu 2024.
Foto:

Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengingatkan para pihak yang terlibat dalam kontestasi politik pada Pemilu 2024 agar tidak memanfaatkan narasi politik identitas. Terutama yang berlatar agama untuk meraih kemenangan.

"Kita semua tentu ingin kontestasi Pemilu 2024 sebagai kontestasi adu gagasan, rasional, dan tidak usah membawa-bawa agama karena agama bagusnya membawa orang pada puncak kesadaran bahwa dia adalah makhluk Tuhan dan dia akan menjadi lebih baik, bukan membawa konflik secara politik," kata Hamdi, Selasa (14/2/2022).

Menurut dia, meskipun pesta demokrasi tidak pernah bisa lepas dari politik identitas, iklim demokrasi yang sehat, jauh dari narasi ujaran kebencian, hoaks, adu domba, dan politisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tetap harus diwujudkan dan dijunjung tinggi oleh seluruh unsur negara. Berkenaan dengan hal itu, Hamdi meminta setiap pihak yang hendak berkontestasi dalam pemilu diharuskan memiliki kecakapan politik.

"Artinya, punya kepemimpinan, mengerti isu-isu publik, bisa mengatur manajemen pemerintahan, dan sebagainya, seperti sesuatu yang rasional," ujarnya.

Sejauh ini, menurut Hamdi, para politisi atau aktor-aktor yang berkepentingan dalam politik masih sering memobilisasi sentimen yang disebut politik identitas. Ia juga menilai fenomena kontestasi politik di Indonesia kerap diwarnai nuansa permusuhan dan kebencian sehingga semakin memperkeruh dan menjadikan suasana demokrasi selayaknya "peperangan".

Oleh karena itu, Hamdi menilai masyarakat harus memiliki pendidikan politik yang cukup. "Tidak banyak masyarakat yang bisa menilai calon kontestan politik, baik partai maupun perorangan dengan memakai kriteria-kriteria yang rasional, seperti baik rekam jejak, program, visi misi politik, program politik, dan sebagainya," katanya.

Hal tersebut memicu terciptanya radikalisasi di tengah masyarakat, apalagi jika kepentingan politik dibumbui dengan narasi keagamaan yang keliru. Selanjutnya, Hamdi meminta seluruh masyarakat Indonesia untuk membangun cara pandang baru dalam memaknai kontestasi politik agar tidak mudah terhasut atau menjadi pelaku pemecah belah persatuan bangsa yang memanfaatkan narasi politik.

"Kita harus mengimbau para elite-elite (politik), kalau di sosial media terutama influencer-influencer untuk tidak menciptakan narasi politik identitas seperti itu. Kedua, kita harus bisa memberikan imbauan kepada masyarakat bahwa itu pembodohan," ujarnya.

Berikutnya, Hamdi menyarankan masyarakat agar berpikir lebih kritis, seperti mengecek fakta dari setiap informasi yang diterima dan tidak mudah memercayai informasi yang belum tentu kebenarannya, apalagi jika disangkutkan dengan agama. Ia juga mendorong pemerintah agar berupaya menekan maraknya praktik politik identitas menjelang Pemilu 2024 guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

"Kita sudah punya instrumen hukum tentang ujaran kebencian, lalu pendidikan politik dan literasi media untuk masyarakat. Tentunya, mereka harus diajarkan bagaimana bermedia sosial yang positif," jelasnya.

Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Jawa Tengah, Syamsul Ma'arif menilai, demokrasi yang kondusif bisa lahir dari masyarakat yang telah mendapatkan pendidikan politik dan konsep kebangsaan secara matang. Kondisi seperti ini tentunya bisa terwujud jika iklim perpolitikan di Indonesia telah bebas dari praktik politik identitas.

"Politik identitas adalah sebuah upaya (politik) yang sering menggunakan kendaraan tertentu, seperti etnis, agama, budaya tertentu, dan mereka mempolitisasi dengan begitu masifnya, biasanya untuk tujuan pragmatis," ujar nya, di Semarang, Rabu (8/2/2023).

Menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo ini, para pelaku praktik politik identitas biasanya melakukan aksinya tanpa memproyeksikan sebuah gagasan besar untuk membangun iklim demokrasi yang sehat. Para oknum ini hanya berpikir bagaimana caranya menang, caranya mereka agar mampu memberikan tekanan pada lawan politiknya, sehingga akhirnya adalah sebuah polarisasi yang tajam karena para pelakunya menggunakan praktik politik yang kurang elegan dan kurang demokratis.

 

Ia menambahkan bahwa efek samping dari politik identitas yang muncul, berkembang, dan kemudian disebarkan secara terus-menerus akan menimbulkan polarisasi sehingga berujung pada upaya untuk menggoyang pemerintah yang sah. Tujuan ini dicapai dengan cara mengintimidasi atau bahkan melakukan kekerasan, baik pemikiran, tindakan ataupun yang lain-lain yang akan merusak sebuah iklim demokrasi, persatuan dan kesatuan.

"Agama jadi ditarik pada kepentingan sesaat. Ini akan menjadi sesuatu yang akan mudah untuk membakar emosi masyarakat," ucapnya.

 

photo
Tiga Parpol Berpeluang Menang di Pemilu 2024 - (infografis Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement