REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar kesehatan sekaligus Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan delapan pandangan hasil pertemuan Emergency Committe WHO dalam menyikapi situasi pandemi COVID-19 terkini di dunia. "Emergency Committe WHO pada pertemuan selama tiga hari sejak 30 Januari 2023 masih tetap menyatakan COVID-19 dalam situasi Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)," kata Tjandra Yoga Aditama yang dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Emergency Committe adalah suatu komite yang dibentuk WHO untuk menganalisa dan memberi masukan kepada WHO terkait kebijakan yang perlu ditempuh dalam menghadapi penyakit menular yang berpotensi menyebar secara internasional. Anggotanya adalah para pakar yang bukan staf WHO.
"Saya pernah menjadi anggota Emergency Commite WHO untuk MERS CoV, sebelum saya menjadi Direktur di WHO Asia tenggara," katanya.
Tjandra mengatakan, pertemuan Emergency Committe COVID-19 yang semula diharapkan memberi panduan tentang berakhirnya pandemi, justru masih mengkhawatirkan delapan hal penting yang perlu menjadi pertimbangan seluruh negara, termasuk Indonesia. Pertama, risiko COVID-19 masih cukup tinggi, kematian akibat penyakit tersebut masih jauh lebih tinggi dari kematian akibat berbagai penyakit paru lainnya.
Kedua, kata Tjandra, masih terjadi kesenjangan vaksinasi COVID-19 di dunia, antara negara maju dan negara berkembang. Kemudian, juga pada berbagai kelompok risiko tinggi seperti lanjut usia.
"Ketiga, hal ini ditambah lagi dengan adanya kelompok menolak vaksin (vaccine hesitancy) yang terus menyebarkan informasi tidak tepat melalui berbagai media, termasuk berbagai WA grup yang kita terima sehari-hari," katanya.
Keempat, masih terus terjadi varian maupun subvarian baru. "Kendati yang kini ada memang tidaklah lebih berbahaya dari yang lalu, tetapi jelas lebih mudah menular, dan dunia belum sepenuhnya tahu pasti bagaimana perkembangan baru ini di masa datang," katanya.
Kelima, sudah terjadi kelelahan pandemi (pandemic fatigue) dan penurunan persepsi publik terhadap risiko yang masih mungkin dihadapi dan ini tampak dengan melonggarnya protokol kesehatan.
Keenam, masih terbatasnya pengetahuan dan ketersediaan pelayanan memadai untuk mengatasi dampak jangka panjang dari COVID-19, baik dalam bentuk long COVID, long-term systemic sequelae of post-COVID condition, dan juga peningkatan risiko terjadinya gangguan kardiovaskuler dan metabolik pasca-COVID-19.
Ketujuh, Emergency Committe COVID mengharapkan adanya upaya kuat untuk meningkatkan pengawasan, melaporkan data perawatan rumah sakit dan Intensive Care Unit (ICU) agar didapat data yang lengkap dan jelas tentang dampak masalah pada sistem kesehatan di negara dan dunia.
Kedelapan, disampaikan juga tentang keterbatasan ketersediaan petugas kesehatan dan adanya benturan prioritas dengan masalah kesehatan lain yang tentu perlu juga diatasi.
"Dalam hal ini maka Emergency Committe menekankan masih diperlukannya ketersediaan kapasitas kesehatan untuk menangani situasi COVID-19 dan juga terus meningkatkan ketahanan sistem kesehatan," ujarnya.
Di sisi lain, kata Tjandra, Emergency Committe juga beranggapan bahwa pandemi COVID-19 dalam situasi transisi dan memerlukan upaya maksimal untuk mengendalikan dan mencegah potensi negatif yang mungkin timbul.
"Kita di Indonesia tentu juga perlu mengamati kedelapan poin ini agar situasi COVID-19 di negara kita juga benar-benar pada waktunya dapat terkendali dengan baik," ujarnya.