Senin 23 Jan 2023 16:33 WIB

Komisi Yudisial Diminta Pantau Sidang Kasus Mutilasi Mimika

LBH Papua merasa janggal dengan sidang kasus ini di Pengadilan Militer.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Tim Gabungan Satuan Tugas Damai Cartenz dan Polres Mimika berhasil menangkap Roy Marthen Howay yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan dan mutilasi warga papua.
Foto: Antara
Tim Gabungan Satuan Tugas Damai Cartenz dan Polres Mimika berhasil menangkap Roy Marthen Howay yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan dan mutilasi warga papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mendesak Komisi Yudisial (KY) memantau persidangan kasus mutilasi Mimika di Pengadilan Militer III-19 Jayapura. LBH menilai persidangan itu penuh masalah.

LBH Papua menyayangkan proses hukum para pelaku pembunuhan berencana dan multilasi empat orang Warga Nduga di Mimika dilakukan secara terpisah antara masyarakat sipil dan anggota TNI. LBH Papua menduga proses peradilan militer terhadap oknum TNI pelaku pembunuhan dan mutilasi empat orang warga Nduga di Mimika dilakukan tanpa penelitian jaksa dan oditur militer.

Baca Juga

"Komisi Yudusial Republik Indonesia segera awasi proses pemeriksa perkara pembunuhan berencana dan mutilasi empat warga sipil Nduga di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang digelar di Pengadilan Militer III-19 Jayapura," kata Direktur LBH Papua Emanuel Gobay kepada Republika.co.id, Senin (23/1/2023).

LBH Papua merasa janggal dengan sidang kasus ini di Pengadilan Militer. Padahal LBH Papua meyakini tidak ada kerugian pada kepentingan militer dalam kasus tersebut.

LBH Papua juga menduga pemeriksaan oknum TNI di Pengadilan Militer dalam kasus ini dilakukan tanpa mengikuti mekanisme sebagaimana diatur pada Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Apalagi selama ini belum ada penyataan dari Menteri Pertahanan dan Menkumham terkait proses hukum oknum anggota TNI tersebut.

"Menunjukan bahwa sepertinya praktik peradilan ini memang telah di-setting (diatur) sedemikian rupa sebelum proses pemeriksaan di Peradilan Militer dimulai," ujar Emanuel.

Selain itu, LBH Papua mengkritisi tuntutan terhadap salah satu terdakwa Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi yaitu hukuman empat tahun penjara dan dicopot dari TNI. Helmanto sebenarnya dituntut dengan pasal 480 KUHP tentang penadahan. Dengan demikian, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana justru diabaikan.

"Berdasarkan fakta hukum dalam persidangan semua unsur-unsur pidana dalam rumusan pasal 340 KUHP telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan, namun Oditur malah menuntut dengan Pasal 480 KUHP," ucap Emanuel.

Karena itu, LBH Papua menuding sidang di Peradilan Militer dijadikan sarana mempraktikkan 'drama peradilan' untuk melindungi oknum anggota TNI. Padahal oknum TNI itu disebut LBH Papua telah melakukan beberapa tindakan pelanggaran hukum dan HAM mulai dari tindakan pelanggaran hak hidup, tindakan penyiksaan, tindak pidana perdagangan senjata api, tindak pidana perampokan uang dengan kekerasan.

"Pada prinsipnya, ini Drama Peradilan untuk melindungi oknum anggota TNI," tegas Emanuel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement