REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdebatan mengenai sistem pemilihan umum (pemilu), baik baik proporsional tertutup maupun terbuka masih menuai pro dan kontra di masyarakat. Pun di parlemen ada partai politik (parpol) yang mendukung sistem tertutup, dan ada yang mendukung sistem terbuka.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora, Fahri Hamzah, menegaskan, menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Menurut Fahri, sistem proporsional terbuka yang dipakai dalam beberapa pemilu terakhir sudah tepat.
"Sistem demokrasi langsung memilih orang itu sudah benar. Itu auratnya demokrasi. Aurat itu harus dijaga, jangan malah yang tidak penting ditutup," ujar Fahri dalam diskusi yang digelar Moya Institute bertajuk 'Pemilu Proporsional Tertutup: Kontroversi' di Jakarta, Jumat (20/1/2023).
Baca: Partai Gelora Diloloskan KPU Atas Perintah Istana, Fahri Hamzah Buka Suara
Menurut Fahri, apabila Pemilu 2024 Indonesia kembali menerapkan sistem proporsional tertutup, akuntabilitas politik akan rusak. Sebab, transaksi politik antara rakyat dan pemimpin harus dilakukan secara langsung, tidak melalui perantara parpol. "Mandataris hanya bisa muncul kalau pemberi dan penerimanya bisa saling berhubungan langsung," ujarnya.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Chudry Sitompul berpendapat, pasal konstitusi tidak banyak menyinggung mengenai pemilu. Sehingga muncul kesan persoalan tersebut dilepaskan kepada parlemen dan undang-undang (UU). Sehingga pemilu terkesan hanya berkaitan erat dengan kepentingan parpol.
Pemerhati isu-isu strategis Prof Imron Cotan mengatakan, tanpa pernah disadari sebenarnya sistem politik dan ekonomi Indonesia berbasis paham sosialis. Hal tersebut tercermin pada sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah atau mufakat), yang menjadi landasan sistem politik dan Pasal 33 UUD 1945 terkait dengan sistem perekonomian nasional.
Guru Besar Universitas Bhayangkara Jaya Hermawan Sulistyo menuturkan, yang perlu dimaknai adalah kepentingan apa paling diperlukan dalam politik Indonesia ke depannya. Hermawan menjelaskan, misalnya yang terasa dibutuhkan adalah penguatan sistem dan pilihan sistem pemilu proporsional tertutup merupakan yang tepat.
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto memaparkan, sistem proporsional tertutup maupun terbuka pernah dipraktikkan dalam kehidupan politik bernegara Indonesia. Kendati demikian, kata Hery, kedua sistem politik tersebut tidak ada yang sempurna dan apapun nanti yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) harus dapat meningkatkan kualitas demokrasi.