REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengaku pemerintah dalam beberapa kesempatan telah membicarakan wacana membentuk Pengadilan Tanah. Hal ini untuk menyelesaikan sengketa-sengketa pertanahan dan pemberantasan mafia tanah.
"Sulit, sehingga ada beberapa kali rapat di sidang kabinet, kita mencoba mengintrodusir mungkin kita perlu Pengadilan Tanah, yang hukum acaranya, eksekusinya, inkracht-nya, dan sebagainya itu berbeda dengan hukum biasa," tutur Mahfud, di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Mahfud mengingatkan pemerintah tidak bisa menyelesaikan mafia tanah dengan cara semena-mena. Terlebih apabila hanya mengerahkan dengan kekuatan polisi, misalnya, justru bisa menjadi tindakan yang melanggar hukum dan menimbulkan gugatan berkepanjangan lagi. Sehingga harus ada proses secara hukum yang berkeadilan.
Meski demikian, Mahfud mengakui bahwa apabila Pengadilan Tanah sudah dibentuk secara resmi sekalipun, tidak menutup kemungkinan ada celah lain yang bisa ditempuh secara hukum oleh pihak-pihak tertentu. Mahfud juga sempat memaparkan sedikitnya 11 modus masalah pertanahan dan mafia tanah yang hasil temuan tim Kemenko Polhukam.
Salah satunya adalah penguasaan tanah aset pemerintah. Baik itu barang milik negara (BMN), barang milik daerah (BMD), atau aset BUMN secara tanpa hak oleh masyarakat yang terkadang melibatkan orang-orang kuat yang juga memiliki klaim.
Mahfud mencontohkan modus permasalahan itu dengan kasus sengketa tanah antara PTPN VIII dengan pondok pesantren Markaz Syariah di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. "Sesudah diteliti di pinggir-pinggirnya banyak juga orang gede yang punya tanah di situ, pensiunan menterilah, pensiunan jenderallah, mantan bupati, punya semua di situ," ujarnya.
Temuan itu disebut Mahfud membuat masalah yang ada semakin rumit, tetapi masih mungkin diselesaikan. Hanya saja persoalan serupa bisa terjadi di daerah lain yang menemui masalah karena pejabat penerbit sertifikat tanah kerap kali sudah meninggal dunia.
"Yang buat sertifikat Kepala BPPN-nya sudah mati, lurah yang buat surat keterangan sudah mati, kantor kelurahannya sudah pindah dokumennya hilang semua, kan hukum tidak bisa kalau tanpa itu. Hukum yang sekarang begitu, makanya kita bertemu, nanti kita buat hukum, ya kalau perlu hukum rimba juga," ujar Mahfud.