Rabu 04 Jan 2023 14:52 WIB

Ramai-Ramai Ingatkan MK Soal Sistem Memilih Caleg untuk Pemilu 2024

MK diminta untuk menolak gugatan terhadap sistem proporsional terbuka pemilu.

Sistem proporsional dalam pemilu saat ini tengah menjadi polemik. (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Sistem proporsional dalam pemilu saat ini tengah menjadi polemik. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Nawir Arsyad Akbar, Febryan A, Antara 

Saat menyampaikan pidato sambutan dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU di kantornya, Jakarta, Kamis (29/12/2022) Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengomentari adanya gugatan terhadap UU Pemilu yang saat ini sedang berproses di MK, yang mana penggugatnya meminta sistem pemilihan caleg diubah dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Menurut Hasyim saat itu, ada kemungkinan MK mengabulkan gugatan tersebut.

Baca Juga

"Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," kata Hasyim kala itu.

Komentar Hasyim itu kemudian menggelinding bak bola panas yang menyulut polemik. Kalangan politisi di DPR pun bak 'kebakaran jenggot' setelah mengetahui kemungkinan terjadinya perubahan sistem pemilu jika nantinya MK mengabulkan gugatan terhadap pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu yang selama ini mengatur pelaksanaan pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional daftar terbuka.

 

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak langsung memilih calon anggota legislatif, melainkan partai politik peserta pemilu. Surat suara pemilu dalam sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai politik tanpa rincian nama calon legislatif. 

 

Dalam sistem proporsional tertutup, calon anggota legislatif ditentukan partai. Oleh partai, nama-nama calon legislatif disusun berdasarkan nomor urut. Nantinya, calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut dan jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2.

Sistem pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan pada Pemilu 1955, pemilu pada era Orde Baru, dan Pemilu 1999. Sistem pemilu kemudian berubah menjadi proporsional terbuka sejak Pemilu 2009 atau setelah adanya putusan MK pada 2008.

 

Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun caleg yang diinginkan. Nama dan foto caleg akan terpampang dalam surat suara, sehingga pemilih selain mencoblos lambang partai juga bisa mencoblos caleg pilihannya bukan pilihan partai. 

Pada Selasa (3/1/2022), delapan fraksi partai politik di DPR RI mengeluarkan pernyataan sikap terkait ini. Mulai dari Fraksi Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN dan Fraksi PPP. Hanya Fraksi PDIP yang tidak ikut serta dalam pernyataan sikap ini.

Menurut Ketua Fraksi Golkar, Kahar Muzakkir, Indonesia termasuk yang menganut sistem pemilihan langsung. Terutama, dalam pemilihan presiden dan kepala daerah, juga pemilihan legislatif yang semua diatur dalam UUD 1945. Itu pula yang jadi dasar Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008.

"Sejak itu, rakyat diberi kesempatan untuk bisa mengenal, memilih dan menetapkan wakil mereka secara langsung orang per orang. Tidak lagi tertutup, tidak lagi menyerahkan sepenuhnya hanya melalui kewenangan partai politik semata," kata Kahar, Selasa (3/1/2022).

Kahar menegaskan, itulah kemajuan dan karakteristik demokrasi. Perpaduan indah antara keharusan kedekatan rakyat dengan wakilnya dan keterlibatan institusi parpol yang tetap harus dijunjung. Rakyat terbiasa berpartisipasi dengan berdemokrasi seperti itu.

"Oleh karena itu, kemajuan demokrasi kita pada titik tersebut harus kita pertahankan dan malah harus kita kembangkan ke arah yang lebih maju dan jangan kita biarkan setback, kembali mundur," ujar Kahar.

Atas dasar itu, delapan fraksi di DPR menyatakan tiga sikap. Pertama, mereka akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju. Kedua, meminta MK untuk tetap konsisten dengan Putusan MK 22-24/PUU-VI/2008.

Dengan mempertahankan Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia. Ketiga, mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat UU, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

 

Tidak hanya dari kalangan DPR atau politisi, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) Aisah Putri Budiatri pun ikut meminta agar MK konsisten atas putusan judicial review pada 2009. Di mana MK saat itu lewat putusannya, menetapkan sistem pemilu di Indonesia menggunakan proporsional terbuka.

"MK sendiri saya pikir seharusnya konsisten pada keputusannya sendiri yang menetapkan judicial review pada 2009 dan gugatan-gugatan setelahnya bahwa sistem proporsional terbuka sesuai dengan konstitusi," katanya dalam keterangan diterima di Jakarta, Rabu (4/1/2022).

Aisah meminta agar MK menolak gugatan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Karena, menurutnya, perubahan sistem pemilu bisa berdampak pada kericuhan di ruang publik yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan Pemilu 2024.

"Dengan demikian, menurut saya, menolak gagasan kembali ke sistem pemilu tertutup merupakan langkah tepat," kata dia.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement