Selasa 03 Jan 2023 05:25 WIB

'Ide Kembali ke Sistem Proporsional Tertutup Pemilu Wujud Kegagalan Parpol'

KPU saat ini menunggu putusan MK soal sistem proporsional dalam pemilu.

Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A

Sejumlah analis politik menilai dorongan agar sistem pemilihan calon anggota legislatif (caleg) dikembalikan jadi proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi. Lebih jauh, mereka menyebut dorongan tersebut merupakan wujud kegagalan partai politik dalam melakukan perekrutan dan pengkaderan.

Baca Juga

Kritik dari para analis ini mengemuka seusai Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengomentari gugatan uji materi yang dilayangkan satu kader PDIP, satu kader Nasdem, dan empat warga sipil lainnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pemilihan caleg menggunakan sistem proporsional terbuka. Hasyim memprediksi MK bakal memutuskan bahwa sistem pemilihan caleg kembali ke proporsional tertutup.

Sejauh ini, hampir semua partai parlemen menentang wacana penerapan kembali sistem proporsional tertutup, kecuali PDIP. Menurut Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, partai politik yang setuju dengan penerapan kembali sistem proporsional tertutup adalah partai yang gagal melakukan rekrutmen dan kaderisasi.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai politik, bukan caleg. Di kertas suara hanya terpampang nama partai. Siapa calon yang akan menduduki kursi parlemen ditentukan sepenuhnya oleh partai lewat urutan tertinggi dalam daftar.  

Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun caleg yang diinginkan. Sistem proporsional terbuka ini mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009.

Fernando menjelaskan, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih lebih mengenal caleg karena setiap caleg bakal berkompetisi secara terbuka dan berusaha untuk mendapatkan hati para pemilih. Para caleg yang saling berkompetisi itu tentu hasil rekrutmen dan kaderisasi partai.

Karena itu, kata dia, menjadi tak masuk akal ketika partai mendorong sistem proporsional tertutup dengan alasan ingin penguatan partai karena dan bisa menentukan kadernya yang mewakili di parlemen. Menurutnya, alasan itu mengindikasikan bahwa partai selama ini mengusung caleg secara asal-asalan saja.

"Berarti partai gagal melakukan perekrutan dan pengkaderan sehingga asal merekrut caleg untuk sekedar dicalonkan," kata Fernando dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/1/2023).

Seharusnya, lanjut dia, semua caleg yang diusulkan partai adalah kader yang sudah dipersiapkan secara matang untuk menjadi anggota dewan. Terkait kelemahan antara kedua sistem tersebut, Fernando menyebut sistem proporsional tertutup akan menjadi lahan bagi pejabat teras partai melakukan praktik transaksional. Sebab, pejabat teras partai punya kuasa menentukan caleg dan urutannya.

Di sisi lain, ia mengakui bahwa sistem proporsional terbuka juga mengandung masalah. Sistem ini membuka ruang politik transaksional seperti politik uang dari caleg ke pemilih.

"Justru menjadi tugas partai politik memberikan pendidikan politik dan para anggota DPR RI membuat UU yang mengatur sistem kampanye yang memperkecil peluang transaksional dengan pemilihnya," kata Fernando.

 

In Picture: KPU dan Kepolisian RI Teken Nota Kesepahaman Jelang Pemilu 2024

photo
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) menandatangani nota kesepahaman terkait dengan sinergisitas pelaksanaan tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan Pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024. - (istimewa)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement