Sabtu 22 Nov 2025 23:58 WIB

Inovasi Subsidi Gas LPG Bahlil Dapat Apresiasi, Disebut Kunci Efisiensi Negara

Gagasan Menteri Bahlil ini dinilai sebagai terobosan strategis.

Sekretaris Bidang Kebijakan Ekonomi DPP Partai Golkar, Abdul Rahman Farisi
Foto: Erdy Nasrul/Republika
Sekretaris Bidang Kebijakan Ekonomi DPP Partai Golkar, Abdul Rahman Farisi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kebijakan energi nasional Indonesia tampak semakin progresif dengan munculnya gagasan baru dari Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Bahlil mencetuskan ide transformasi subsidi gas LPG 3 kilogram dengan beralih ke penggunaan gasifikasi batubara atau Dimethyl Ether (DME).

Dimethyl Ether atau DME ini merupakan senyawa berwujud gas. Meski begitu, proses pembakarannya diklaim berlangsung lebih cepat dan efisien dibandingkan dengan gas LPG konvensional yang biasa kita gunakan di dapur.

Baca Juga

"Ini merupakan transformasi kedua dalam subsidi yang dilakukan pemerintah. Transformasi pertama terjadi di era Presiden SBY-JK, yakni dari minyak tanah beralih ke gas," jelas Abdul Rahman Farisi, Sekretaris Bidang Kebijakan Ekonomi DPP Partai Golkar, pada hari Sabtu (23/11).

Farisi menambahkan bahwa tujuan utama dari transformasi ini tetap sama: menyelamatkan uang negara dari beban subsidi yang terus membengkak dan mendorong penggunaan teknologi yang lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat.

Secara keseluruhan, gagasan Menteri Bahlil ini dinilai sebagai terobosan strategis yang cerdas. Langkah ini diharapkan mampu menyelamatkan keuangan negara dari kemahalan harga LPG impor, sekaligus memacu inovasi di sektor publik.

Langkah ini, menurut Abdul Rahman, memiliki dua tujuan penting. "Untuk menyehatkan keuangan negara. Sekaligus memacu inovasi di sektor publik," ujarnya di Jakarta, Sabtu (22/11).

Menurut dia, salah satu persoalan utama dalam belanja subsidi negara adalah tingginya biaya yang harus ditanggung akibat peningkatan volume dan jumlah subsidi.

Kemahalan ini menurutnya mesti memicu Para Pejabat untuk memikirkan transformasi dengan mengutak-atik belanja subsidi dari analisis faktor biaya yang digunakan.

"Selama ini kita lihat tidak banyak inovasi Para Pemimpin kita di sektor publik baik Pemerintah maupun BUMN yang serius melihat bahwa kemahalan adalah sesuatu yang mesti dicari opsi dan jalan keluarnya sebab menyangkut beban uang negara, dalam memilih jenis barang subsidi, tanpa memperhitungkan kecepatan perkembangan teknologi yang sebenarnya bisa menekan biaya,” ujar mantan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin ini.

Ia juga menyoroti pentingnya adaptasi teknologi dalam perumusan kebijakan subsidi. Sebab kebutuhan inovasi ini menjadi mendesak mengingat lonjakan drastis pada beban subsidi LPG 3 kg, yang semula dicanangkan sebagai pengganti subsidi minyak tanah di era SBY-JK.

Abdul Rahman menjelaskan dari data Kementerian Keuangan menunjukkan, anggaran subsidi sektor tersebut melonjak dari Rp32,8 triliun pada 2020 menjadi Rp100,4 triliun pada 2022.

Meskipun angka tersebut sempat turun menjadi Rp74,3 triliun pada 2023, proyeksi untuk 2025 masih terbilang tinggi, yaitu sebesar Rp68,7 triliun.

"Bahkan setelah adanya pemangkasan 21 persen dari target awal Rp87 triliun," ujar Abdul Rahman yang pernah menjabat Tenaga Ahli Kepala BPK RI ini.

Manfaatkan Teknologi

Oleh karena itu, Abdul Rahman memberikan apresiasi tinggi terhadap upaya Menteri Bahlil dalam mencari alternatif pengganti subsidi LPG melalui pemanfaatan teknologi baru.

Ia menilai pendekatan ini sebuah strategi jangka panjang untuk membangun fondasi energi masa depan yang lebih hemat, ramah lingkungan, dan tidak terus membebani APBN.

“Inovasi DME mengganti LPG adalah bukti nyata bahwa pemerintah mampu menghadirkan kebijakan visioner. Ini bukan hanya soal mengganti LPG, tetapi soal membangun sistem energi yang lebih modern dan efisien. Cara berpikir progresif seperti ini harus ditiru oleh seluruh pemimpin politik di sektor publik,” tegasnya.

Melalui dorongan positif dari gagasan progresif ini, Abdul Rahman Farisi berharap langkah Menteri Bahlil dapat menjadi contoh bagi seluruh pemimpin politik untuk berani keluar dari pola lama yang stagnan.

"Dengan menghadirkan kebijakan yang berorientasi pada efisiensi dan berbasis teknologi mutakhir," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement