Farmasi Nakal, Ginjal Anak Meradang
Di luar parade laku buruk aparat, tahun 2022 juga diwarnai peristiwa getir yang menyayat nurani kemanusiaan, dan berujung pada meja hijau. Kali ini terkait kejahatan industri farmasi yang membuat 324 anak mengalami gagal ginjal akut, bahkan 199 anak diantaranya meninggal dunia. Hal itu disebabkan beberapa produk obat sirup ditengarai mengandung Etilen Glikol dan Dietilen Glikol, senyawa beracun bila digunakan melebihi 0,1%. Efek samping dari over dosis kedua zat tersebut adalah gagal ginjal akut.
Hasil penyelidikan Bareskrim Polri dan BPOM, ditemukan produk obat sirup AF, YF, UPI mengandung Etilen Glikol dan Dietilen Glikol melebihi ambang batas. Bareskrim Polri menetapkan empat korporasi sebagai tersangka (PT AF, PT YF, PT UPI, dan CV SC). CV SC sebagai pemasok bahan sediaan obat farmasi dianggap telah lalai melakukan pemeriksaan atas barang sediaan dan diduga melanggar Pasal 98 Undang-undang Kesehatan. Sementara industri farmasi yang memproduksi sirup yang menyebabkan kasus gagal ginjal akut pada anak dapat dikenakan Pasal 196 Undang-undang Kesehatan.
Para penegak hukum perlu melihat kasus ini dalam dimensi kemanusiaan, bukan hanya dimensi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Bila fokus para penegak hukum hanya pidana korporasi, maka sesuai dengan Undang-undang Perseroan Terbatas dan Perma 13 tahun 2016, hanya pengurus dan korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana. Namun bila penegak hukum melihat kasus ini dalam perspektif kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity), maka penegak hukum dapat menggunakan doktrin piercing the corporate veil dan doktrin alter ego untuk menelisik lebih jauh peran pemegang saham, dan membuka kemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban pidana bagi pemegang saham. Diluar dimensi hukum, pemerintah mesti melakukan strategi preventif agar kasus ini tidak terulang. Sebab yang lebih mengkhawatirkan dari kasus ini adalah tumpulnya system keamanan kesehatan di negeri ini.