REPUBLIKA.CO.ID, "Jangan berpakaian terbuka, nanti digodain orang!". Kalimat seperti itu kerap kali diutarakan oleh masyarakat kita yang secara tidak langsung menyalahkan korban kekerasan seksual. Padahal pelecehan di ruang publik (catcalling), tidak hanya terjadi pada korban yang menggunakan pakaian terbuka, bahkan perempuan yang berhijab juga pernah mengalaminya.
Ini satu contoh kecil yang pernah dialami oleh mayoritas perempuan di Indonesia, termasuk advokat muda Justitia Avila Veda (28 tahun).
"Sebagai perempuan, masing-masing di diri kita pernah menjadi penyintas (kekerasan seksual). Dan saya melihat negara kita itu sangat patriarkal, sehingga sangat susah untuk perempuan mencari keadilan kalau tidak ada dukungan yang cukup," tutur Veda kepada Republika.
Kekerasan seksual memang kerap terjadi pada siapa saja baik perempuan, laki-laki maupun kaum minoritas. Akan tetapi, kentalnya budaya patriarki di Indonesia seringkali menjadi sumber dari banyaknya persoalan seputar kekerasan seksual.
Budaya patriarki yang cenderung menyalahkan korban (victim blaming) dari keluarga, masyarakat hingga aparat penegak hukum ini kerap kali menjadi batu sandungan bagi para korban yang tidak mendapatkan pendampingan yang memadai.
Keprihatinan atas hal inilah yang membuat Justitia Avila Veda mendedikasikan dirinya untuk menolong korban kekerasan seksual. Awalnya, advokat yang bekerja di sebuah LSM konservasi ini memulai upaya bantuannya ini dengan sebuah tawaran konsultasi melalui akun Twitter-nya @romestatute pada 2020 silam. Rupanya kicauannya yang menawarkan bantuan untuk para korban kekerasan seksual ini mendapat respon positif dari warganet.
Selama 24 jam pertama, direct message dan email-nya dibanjiri oleh berbagai pertanyaan mengenai kekerasan seksual. Tidak hanya itu, beberapa pengacara dan jaksa juga menawarkan dukungan kepadanya. Melihat antusiasme masyarakat atas informasi mengenai kekerasan seksual ini yang mendorong Justitia Avila Veda membentuk Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) pada Juni 2020 lalu.
Terbentuknya Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) merupakan sebuah kolektif pengacara dengan anggota kurang lebih 20 orang yang fokus untuk memberikan konsultasi dan bantuan hukum secara pro bono (pengabdian masyarakat) untuk korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya.
Salah satu tujuannya untuk menghindari terjadinya revictimisasi atau suatu kondisi di mana korban kembali menjadi korban untuk kedua kalinya saat mencari bantuan hukum.
Menurut Veda, korban kekerasan seksual rentan terhadap revictimisasi karena seringkali mereka mendapatkan stereotype dari aparat penegak hukum di saat mereka berusaha mengakses bantuan hukum. Pertanyaan-pertanyaan bernada menyalahkan mengenai pakaian terbuka, keluar di malam hari dan minum-minuman beralkohol semua menyiratkan bahwa peristiwa buruk yang menimpa mereka adalah kesalahan mereka sendiri.
Realitanya, kekerasan seksual pun tidak hanya terjadi secara langsung, kini pun sering terjadi secara online. Selama pandemi, KAKG mendapat banyak aduan mengenai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Dikutip dari Instagram @advokatgender, kekerasan berbasis gender adalah kekerasan fisik, psikis atau seksual yang bermula dari asumsi status gender tertentu. Sedangkan kekerasan berbasis gender online terjadi di ranah internet dan media sosial seperti penyebaran konten intim, penyebaran informasi pribadi orang lain tanpa izin (doxing), membuat akun atau konten seolah-olah mirip dengan orang lain dengan tujuan melecehkan (impersonation) hingga kasus pemerkosaan yang berasal dari aplikasi kencan.
"KBGO banyak terjadi dalam situasi pandemi. Karena mereka kebanyakan di dalam rumah dan interaksi mereka berpindah dari offline dan online," jelas Veda.
Dibentuk saat situasi pandemi Covid-19, KBGO mendominasi kasus yang ditangani oleh tim KAKG dari sebanyak lebih dari 150 aduan yang masuk. Selain itu, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga menjadi yang terbanyak diadukan.
Sementara itu menurut data Komnas Perempuan, pada 2020 angka kekerasan berbasis gender siber mengalami kenaikan pesat, hampir 400 persen. Data SIMFONI PPA pada Januari-2 Desember 2021 menunjukkan, kasus KDRT mendominasi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan, yakni 74 persen dari total 8.803 kasus.
Data tersebut juga mengungkapkan, selama pandemi pada 2021 terdapat 12.559 kasus kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan seksual menjadi kasus kekerasan terhadap anak yang paling banyak dilaporkan, yakni 60 persen dari total kasus.
Cara Mendapatkan Pendampingan Hukum KAKG
KAKG membuka konsultasi hukum untuk siapapun secara online di seluruh Indonesia. Dari formulir online yang bisa diakses di akun Instagram @advokatgender, nantinya akan dilakukan penilaian apakah aduan tersebut perlu pendampingan hukum secara langsung, litigasi dan non litigasi.
Jika korban ingin menempuh jalur hukum atau litigasi, biasanya pihak advokat juga akan menyediakan bantuan psikologi dan medis, mengingat proses penyidikan hingga pengadilan yang memakan waktu panjang dan akan berdampak pada psikis korban. Akan tetapi, tidak semua korban mau menyelesaikan ke proses litigasi dan lebih memilih jalur di luar pengadilan (non litigasi).
Dengan keterbatasan sumber daya manusia dan juga waktu, KAKG kemudian membuat kelompok penerima manfaat prioritas seperti korban anak, disabilitas, kelompok minoritas seksual dan konflik untuk proses litigasi. Sementara itu untuk korban yang lokasinya berada di luar kota, pihak KAKG akan berupaya mendampingi satu hingga dua kali dan berkoordinasi dengan mitra Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di kota setempat.
"Proses litigasi bisa memakan waktu sangat panjang dan sangat patriarkal. Bahkan ada beberapa kasus yang kalau dilaporkan ke polisi tidak menguntungkan korban, sehingga lebih banyak yang non litigasi," tutur lulusan University of Chicago Law School ini.
Kendala dan Batu Sandungan dalam Hadapi Kasus
Penyelesaian semua kasus diakui Veda tidaklah mudah. Akan tetapi, terdapat beberapa kasus yang dapat merugikan korban dan malah dapat menyerang korban balik sebagai pihak tersangka. Contohnya, kasus penyebaran konten pornografi yang diatur dalam UU ITE dan UU Pornografi. Banyak pihak yang menggunakan 'pasal karet' dalam UU ITE untuk membungkam korban kekerasan seksual.
Salah satu contohnya adalah Baiq Nuril, korban pelecehan seksual yang dilaporkan oleh pelaku dengan dugaan mendistribusikan informasi elektronik yang memuat konten asusila. Baiq terjerat Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
Begitu juga dengan konten pornografi yang dibuat oleh korban yang pernah berpacaran dengan pelaku. Meski korban tidak mengizinkan video tersebut disebarluaskan oleh pelaku, dalam hal ini korban juga dapat menjadi tersangka yang membuat konten pornografi.
"Kasus seperti ini banyaknya kami tangani secara non litigasi," ujar Legal and Policy Manager di Konservasi Indonesia tersebut.
Kendala lainnya adalah kurangnya respon cepat dari aparat penegak hukum. Akan tetapi, ia juga tidak menyarankan memviralkan suatu kasus agar mendapatkan respon cepat. Fenomena memviralkan kasus demi mendapatkan respon cepat aparat penegak hukum, membuat Veda merasa miris. Menurutnya ini sangat mengecewakan dan menodai norma hukum di negara kita ketika aparat penegak hukum baru merespon saat mendapatkan perhatian publik.
Dari sisi korban, ia juga tidak menyarankan hal ini untuk dilakukan mengingat korban kekerasan seksual pasti mengalami trauma dan belum tentu akan mendapatkan pembelaan dari warganet. Ini dapat membentuk situasi revictimisasi dan akan semakin membuat mental korban jatuh.
"Saya kurang suka cara tersebut, apalagi kalau bukan korban yang minta. Tidak menghargai korban sebagai pemilik cerita dan hasilnya akan sangat random karena kita tidak tahu akan seperti apa respon netizen," tutur Veda.
Kendati begitu, kehadiran UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru diterbitkan pada Mei 2022 lalu dianggap menjadi angin segar dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di Indonesia. Hanya saja, Veda menilai bahwa undang-undang ini belum diimplementasikan dengan baik oleh aparat penegak hukum.
Penghargaan SATU Indonesia Awards 2022
Upaya Justitia dan KAKG untuk membantu para korban kekerasan seksual membawanya pada penghargaan bergengsi ini. Apresiasi SATU Indonesia Awards 2022 Bidang Kesehatan yang diterima Justitia diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual dan kehadiran KAKG untuk membantu para korban.
Selain itu, apresiasi dari PT Astra International Tbk. ini telah mendukung KAKG dalam hal finansial untuk berbagai proses litigasi yang diperjuangkan kolektif ini.
"Biaya litigasi sangat mahal. Dari penghargaan ini kami mendapatkan dukungan finansial dari Astra yang sangat membantu beberapa biaya operasional kasus yang tertunda," ujar Veda.
Ke depannya, Veda berharap dari jejaring para penerima apresiasi, KAKG dapat menjalin lebih banyak kerjasama dengan mitra advokat di daerah. Dengan demikian, semakin banyak korban kekerasan seksual yang dapat dibantu secara maksimal.