Kamis 08 Dec 2022 05:25 WIB

Pengesahan RKUHP Jadi Pukulan Mundur terhadap HAM di Indonesia

Indonesia susah payah melindungi HAM selama dua dekade.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto membacakan laporan saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto membacakan laporan saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesti Internasional Indonesia menyayangkan pemerintah dan DPR tetap bersikukuh akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru menjadi Undang-undang. Sebab menurut Amnesti, dalam RKUHP masih banyak pasal yang menjadi pukulan mundur nilai Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan salah satu di antara yang paling rentan menanggapi pengesahan KUHP baru DPR RI, yakni membatasi kebebasan berkumpul hingga melarang mengkritik presiden.

Baca Juga

“Apa yang kita saksikan merupakan pukulan mundur bagi kemajuan Indonesia yang telah diraih dengan susah payah dalam melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar selama lebih dari dua dekade," kata Usman Hamid, Rabu (7/12/2022).

Ia menegaskan fakta pemerintah Indonesia dan DPR setuju mengesahkan hukum pidana yang secara efektif melemahkan jaminan hak asasi manusia. "Sungguh mengerikan," ucap Usman.

Amnesti menekankan RKUHP baru ini sangat kontroversial dan melampaui batas. Dan ini hanya akan lebih memperburuk ruang sipil yang sudah menyusut di Indonesia. Karena sebagaimana memberlakukan kembali ketentuan yang melarang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.

Menurut dia, hal itu sama saja pemerintahan yang sedang menjabat serta lembaga negara akan semakin menghambat kebebasan berpendapat. Yakni berupaya mengkriminalisasi perbedaan pendapat yang sah dan damai.

"Apalagi aturan itu mengarah ke larangan demonstrasi publik tanpa izin jelas dapat membatasi hak untuk berkumpul secara damai," katanya.

Maka Usman menilai, KUHP yang baru secara praktis hanya akan memberikan wewenang lebih kepada mereka yang berkuasa di masa sekarang dan ke depan. Diantaranya dengan cara menekan perbedaan pendapat yang tidak mereka sukai melalui penegakan hukum yang selektif.

"Ini dapat menciptakan iklim ketakutan yang menghambat kritik damai dan kebebasan berkumpul," terangnya.

Selain itu Usman juga menyoroti soal pasal aturan melarang hubungan seks di luar nikah, dimana itu merupakan pelanggaran atas hak privasi yang dilindungi oleh hukum internasional. Ketentuan ‘moralitas’ tersebut bahkan berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual.

Bahkan, Amnesti menilai aturan dan pasal itu, bisa menyasar warga hanya karena mereka memiliki identitas dan ekspresi gender tertentu seperti komunitas LGBTI. Padahal hubungan seksual konsensual tidak bisa diperlakukan sebagai kriminal.

Karena itu, Usman menegaskan RKUHP ini seharusnya tidak pernah disahkan sedari awal, sehingga bila disahkan merupakan kemunduran dramatis dari HAM di Indonesia. Alih-alih menghancurkan kemenangan hak asasi yang diperoleh dengan susah payah, pemerintah Indonesia dan DPR seharusnya memperbaiki kondisi kemunduran kebebasan sipil ini.

"Yakni dengan memenuhi komitmen hak asasi manusia dan kewajiban konstitusional mereka untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia," jelas Usman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement