Selasa 06 Dec 2022 18:27 WIB

Ini Penjelasan Koalisi Masyarakat Sipil Suarakan Tolak RKUHP

Koalisi masyarakat sipil mengkhawatirkan adanya KUHP baru akan memundurkan demokrasi.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Aliansi masyarakat dan mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak pengesahan RKUHP di Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Selasa (6/12/2022). Koalisi masyarakat sipil mengkhawatirkan adanya KUHP baru akan memundurkan demokrasi.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Aliansi masyarakat dan mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak pengesahan RKUHP di Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Selasa (6/12/2022). Koalisi masyarakat sipil mengkhawatirkan adanya KUHP baru akan memundurkan demokrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) menyuarakan kembali penolakan terhadap pengesahan RKUHP. Mereka mengingatkan Pemerintah dan DPR bahwa KUHP baru akan membuat masyarakat semakin rentan dipidana, bahkan semua atau siapa pun warga negara bisa kena dengan KUHP baru.

PVRI bersama sejumlah lembaga masyarakat sipil seperti KontraS, LBH Jakarta, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dan Amnesty International Indonesia khawatir Undang Undang KUHP yang baru justru semakin membuat mundur perjalanan demokrasi di Indonesia.

Baca Juga

Peneliti Litbang Kompas Rangga Eka Sakti memaparkan beberapa indikasi KUHP yang baru justru akan sangat mudah menyasar siapapun sebagai objek sasaran hukum. Dan ini, menurut dia, akan membuat masyarakat Indonesia kian takut menyuarakan pendapat.

"Riset Litbang Kompas 2020-2022 terhadap masyarakat menyatakan 90% masyarakat tidak tahu bahwa KUHP akan disahkan. Sebanyak 41,3 persen menyatakan takut akan beberapa delik yang membatasi pendapat," ujar Tangga dalam diskusi bertajuk "Menyoal RKUHP: Catatan Kritis atas Rencana Pengesahannya", yang diadakan oleh Public Virtue di Jakarta, pada Selasa (6/12/2022).

Hadir dalam kegiatan itu, jurnalis Project Multatuli Yulias yang juga sebagai moderator acara. Dan juga Ketua Dewan Pengurus Public Virtue yang juga merupakan Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Citra Referandum, aktivis KontraS Rivanlee Anandar, pengajar STHI Jentera Bivitri Susanti.

Ketakutan masyarakat tersebut juga dianggap mencerminkan hasil dari praktik legislasi di Indonesia yang anti partisipasi masyarakat. Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan proses legislasi nasional dalam tahun-tahun belakangan, terkesan tanpa partisipasi publik yang kuat.

Ia mencatat setidaknya sepanjang 2019 hingga 2022 seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Mineral dan Batubara, hingga saat ini pengesahan UU Hukum Pidana, minim konsultasi publik yang bermakna.

Usman mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review UU Ciptakerja yang disahkan tanpa proses partisipasi yang bermakna. Tidak ada proses dialog dan deliberasi yang demokratis. Alih-alih membawa spirit demokratisasi dan dekolonisasi, KUHP yang baru justru merupakan bentuk rekolonisasi dan reautokratisasi.

"Demokrasi Indonesia akan kian mengalami kemerosotan dengan adanya pasal-pasal bermasalah tersebut," katanya.

Senada dengan Usman, Direktur LBH Jakarta Citra Referandum menjelaskan sejumlah pasal bermasalah di RKUHP, dimana ada sejumlah pasal seperti penghinaan presiden, yang sejak dahulu telah dipersoalkan. Termasuk juga pasal soal demonstrasi yang wajib pemberitahuan hingga pemidanaan atas kegiatan yang dianggap berbau ajaran Marxisme.

"Ini eksesif, karet dan semua bisa kena," kata Citra.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement