REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono, menyampaikan bahwa saat ini banyak hal yang harus diluruskan tentang Rancangan Kitab Undangan-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menyatakan bahwa kritik bisa dipidana. Ia mengatakan, yang diatur di RKUHP adalah penghinaan, bukan kritik.
Ia mengungkapkan, di dalam pasal penghinaan RKUHP ada batasan pendefinisian oleh apa yang disebut dengan penghinaan. Menurutnya, jika berbicara mengenai penghinaan, harus ada dua esensi yaitu fitnah dan penistaan.
“Apa itu fitnah dan penistaan? Itu yang kemudian diberikan penjelasan. Sehingga tidak kemudian akan bersifat pasal karet seperti penghinaan, dan akan menumbuhkan iklim demokrasi yang semakin baik,” ujar Pujiono pada Sosialisasi RKUHP yang diadakan oleh Kemenkominfo bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Bali, seperti dilansir dari Antara, Ahad (4/12/2022).
Sosialisasi RUU KUHP yang berlangsung secara hybrid ini diikuti oleh sekitar 300 peserta daring dan luring. Harapannya, sosialisasi ini dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya penyesuaian KUHP melalui draf RUU KUHP baru, agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat saat ini.
Direktur Informasi Komunikasi Polhukam Kemenkominfo, Bambang Gunawan, dalam sambutannya menjelaskan bahwa perwujudan negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis melalui upaya pembangunan hukum. Salah satu proses yang sedang dilakukan oleh Pemerintah terkait hukum pidana adalah dengan merevisi RKUHP.
“Upaya pemerintah merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda perlu segera dilakukan, sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat,” kata dia.
Pemerintah mulai merancang RKUHP sejak tahun 1964 untuk menggantikan KUHP yang berlaku sampai saat ini. Penyusunan RKUHP juga melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog publik dan sosialisasi.
Lewat dialog publik yang telah berjalan di 11 titik di Indonesia, pemerintah menghimpun masukan dan melakukan penyesuaian sehingga menghasilkan draf terbaru RKUHP.
Pada tanggal 9 November 2022, draf tersebut telah diserahkan ke Komisi III DPR RI, dan 24 November kemarin telah disepakati bersama dalam pembahasan Tingkat I.
“Yang dilakukan pemerintah sudah sangat transparan dan demokratis melibatkan masyarakat. Jadi tidak ada maksud-maksud pemerintah untuk tidak melibatkan masyarakat ataupun terburu-buru disahkan,” kata dia.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, I Nyoman Juwita Arsawati, mengungkapkan jika salah satu alasan KUHP dipandang perlu untuk diperbaharui adalah karena banyaknya Undang-Undang yang lahir di luar KUHP.
“Hal tersebut menunjukkan bahwa KUHP itu sendiri sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat terkait dengan kualitas dan kuantitas kejahatan yang terjadi di masyarakat,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sistem pemidanaan yang ada di dalam RKUHP menganut double-track system, yang artinya di dalam RKUHP ada penjatuhan sanksi pidana berupa tindakan, seperti kerja sosial, rehabilitasi, pengawasan dan lain sebagainya. Berbeda dengan KUHP peninggalan kolonial yang menganut single-track system, di mana hanya ada satu pidana saja.
"Ada perbedaan di dalam RUU KUHP, jenis pidananya ada tiga yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus atau tindakan. Pidana yang bersifat khusus inilah yang akan diatur secara tersendiri,” jelasnya.
Kemudian, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Arief Amrullah, mengatakan bahwa pentingnya penggantian KUHP ini karena secara politis, dengan kita masih menggunakan KUHP yang ada sekarang, artinya kita masih dalam konteks terjajah oleh Belanda.
“Secara sosiologis juga berbeda muatan masyarakatnya antara Belanda dengan kita, berbeda sekali, ukurannya saja sudah beda. Lalu secara kontekstual juga begitu, KUHP Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai bangsa kita. Inilah salah satu keunggulan dari RUU KUHP yang mengadopsi nilai-nilai bangsanya sendiri,” kata dia.
Ia mengungkapkan bahwa RKUHP yang sebentar lagi disahkan, akan menjadi konstitusinya hukum pidana. Menurutnya, materi muatan hukum pidana nasional ada keseimbangan antara kepentingan umum dan individu.
“KUHP yang sekarang ini lebih menekankan pada individu, kepada sisi pelaku saja, bagaimana sisi korban? Ini kan tidak diperhatikan, dan memang tidak ada. Nah, inilah yang direvisi di dalam RUU KUHP ini, jadi ada keseimbangan itu,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Studi Universitas Pendidikan Nasional, A. A. A. Ngurah Tini Rusmini Gorda, mengatakan bahwa RKUHP merupakan produk hukum yang diinisiasi oleh anak bangsa. Menurutnya, RKUHP yang telah disusun selama 76 tahun ini sudah diidam-idamkan kehadirannya.
Untuk itu, ia berharap kegiatan Sosialisasi RKUHP ini bisa menjadi wadah diskusi. Walaupun menurutnya, di tahap sosialisasi ini belum bisa seratus persen mengubah, paling tidak ada hal yang bisa diakomodir melalui kegiatan ini.
“Saya harap kegiatan hari ini bisa mengakomodir di tanggal 15 nanti, agar di tahun 2023 kita sudah memiliki KUHP produk Indonesia,” ujarnya.