Jumat 18 Nov 2022 16:40 WIB

Komnas HAM Ingatkan Potensi Konflik Fisik Saat Pilkada Serentak 2024 

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, kerusuhan lebih sering terjadi saat Pilkada.

Rep: Febryan A/ Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Pramono Ubaid Tanthowi
Foto: Republika/Dian Erika Nugraheny
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Pramono Ubaid Tanthowi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Pramono Ubaid Tanthowi mengingatkan penyelenggara pemilu untuk mewaspadai potensi konflik saat gelaran Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Sebab, dia memprediksi kekerasan fisik akan terjadi, terutama saat Pilkada Serentak. 

Pramono memperkirakan, konflik dan kekerasan secara masif seperti Pemilu 1997 dan 1999 kemungkinan tidak akan terjadi saat Pemilu dan Pilkada 2024. Sebab, arena konflik perlahan mulai beralih ke media sosial dalam bentuk ujaran kebencian menggunakan isu SARA. 

Baca Juga

Kendati demikian, bukan berarti konflik fisik antarpendukung akan hilang sama sekali saat Pemilu pada Februari 2024 dan Pilkada Serentak pada November 2024. "Menurut saya (kekerasan fisik) akan tetap ada. Saat Pilkada kemungkinan akan lebih keras karena kandidat dan pendukungnya itu lebih dekat," kata Pramono kepada wartawan, Jumat (18/11/2022). 

Pramono menjelaskan, kandidat kepala daerah dan pendukungnya lebih dekat karena mereka biasanya saling mengenal. Apalagi, kandidat bupati dan wali kota, mereka biasanya punya hubungan tertentu dengan para pendukungnya seperti hubungan kerabat dan teman sekolah. 

"Karena kedekatannya itu, sentimennya menjadi lebih kuat. Sentimen itu seringkai bisa memicu konflik secara fisik. Oleh karena itu, hal ini harus diantisipasi," kata eks komisioner KPU RI itu. 

Karena itu, Pramono mendorong KPU dan Bawaslu melakukan upaya pencegahan. Dua penyelenggara pemilu ini jangan hanya mensosialisasikan soal teknis pemilihan, tapi juga harus mulai mensosialisasikan soal prinsip menghargai perbedaan pendapat kepada pemilih.

"Sosialisasi itu akan memberikan prakondisi kepada pemilih agar mereka sadar akan hak pilihnya, tahu bagaimana cara menggunakan hak pilihnya, dan bagaimana melihat perbedaan-perbedaan. Dengan begitu, mereka bisa lebih dewasa dalam berpolitik," kata Pramono. 

Mengenai penanggulangan konflik yang tetap terjadi, Pramono meminta Polri menempatkan personel lebih banyak di daerah rawan sejak awal. Sebab, polisi akan kesulitan memobilisasi personel dari satu ke daerah ke daerah lain saat konflik terjadi karena semua wilayah sedang menggelar pemilihan. 

"Proses pengamanannya harus berbeda. Di daerah yang tingkat kerawanannya tinggi tentu untuk 2 TPS ada satu polisi. Kalau daerah aman, bisa 5 TPS dengan 1 polisi. Itu strategi pengamanannya," ujarnya. 

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sudah menyampaikan kekhawatiran terkait potensi kerusuhan saat Pilkada Serentak 2024. Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, berkaca dari pengalaman sebelumnya, kerusuhan memang lebih sering terjadi saat Pilkada, bukan saat Pemilu. 

"Pembakaran TPS paling banyak terjadi di Pilkada, bukan di Pemilu," kata Bagja dalam rapat bersama Komite I DPD RI di Jakarta, Selasa (8/11/2022). 

Bagja semakin khawatir karena Pilkada digelar secara serentak di ratusan kabupaten/kota. Polri tentu tidak mengirim personel dari satu daerah ke daerah yang terjadi kerusuhan. 

Sebab, polisi di tiap kesatuan bakal fokus mengamankan wilayah masing-masing. "Misalnya dulu Pilkada Makassar ribut karena calon tunggal, ribut dimana-mana. Datang perbantuan personel dari Polres Gowa dan Polres sekitarnya untuk Kota Makassar. Sekarang (Pilkada 2024) tidak bisa karena masing-masing polres harus jaga wilayah masing-masing," kata Bagja. 

Bagja mengaku belum mendapat penjelasan dari Polri terkait rencana pengamanan Pilkada 2024 ini. Sejauh ini, koordinasi pengamanan baru dilakukan antara KPU daerah dengan Polres di daerah masing-masing. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement