Senin 14 Nov 2022 05:20 WIB

Penangkapan Hakim Agung, Koruptor Edhy Prabowo, dan Putusan yang Meragukan

KPK dinilai punya mandat 'trigger mechanism'.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Anggota YLBHI Julius Ibrani (kiri).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Anggota YLBHI Julius Ibrani (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mendalami kabar penangkapan Hakim Agung GS dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA). PBHI menyebut adanya kaitan antara GS dengan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo.

Edhy Prabowo terbukti bersalah dalam perkara suap pengurusan izin ekspor benih bening lobster atau benur. Dalam putusan yang diambil pada 7 Maret 2022 itu, majelis kasasi MA mengkorting hukuman Edhy Prabowo menjadi 5 tahun penjara. Hukuman itu berkurang 4 tahun ketimbang putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memvonis Edhy Prabowo dengan 9 tahun penjara.

"Berdasarkan catatan PBHI, Hakim Agung GS adalah salah satu Anggota Majelis Kasasi yang mendiskon vonis dari 9 tahun menjadi 5 tahun, dalam kasus Korupsi Edy Prabowo," kata Ketua PBHI Julius Ibrani dalam keterangannya pada Ahad (13/11/2022).

Baca juga : Komnas Perempuan Minta 'Pesulap Hijau' di Aceh Dijerat UU TPKS

Majelis Kasasi MA yang meringankan hukuman Edhy Prabowo yaitu GS, Sofyan Sitompul dan Sinintha Yuliansih. Dalam pertimbangan putusannya, majelis kasasi MA memandang Edhy sudah bekerja baik sepanjang menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.

"Sebenarnya, KPK juga menjadi 'korban' dalam diskon vonis ini," ujar Julius.

Atas dasar inilah, PBHI mempertanyakan, berbagai putusan yang telah diambil oleh GS selama menjabat sebagai hakim. Sebab, sebagai seorang Hakim, apalagi Hakim Agung, GS tidak hanya memeriksa dan memutus 1-2 putusan saja.

"Penting untuk memeriksa kembali rekam jejak pertimbangan dan amar putusan Hakim yang terindikasi kasus korupsi, untuk melihat secara mendalam apakah ada indikasi korupsi yang lain," ucap Julius.

Baca juga : Presiden AS Joe Biden Tiba di Bali

PBHI juga mengingatkan Putusan Hakim paling tidak harus memenuhi 3 unsur: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Namun berkaca dari kasus korupsi Hakim di Pengadilan hingga MA, maka putusan menjadi produk hukum bermasalah yang penuh kejanggalan dalam pertimbangan Hakim dan Amar-nya.

"Sehingga, apabila putusan Hakim didasarkan pada 'pesanan' dari perbuatan korupsi (suap), maka tidak akan terwujud cita-cita Keadilan dan Kemanfaatan," tegas Julius.

Di sisi lain, PBHI menyarankan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memproses lebih lanjut penangkapan Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan GS. PBHI mensinyalir putusan keduanya patut diusut. KPK dinilai punya mandat “trigger mechanism” guna men-dekonstruksi ulang komoditas korupsinya. Dalam kasus korupsi di pengadilan atau MA yaitu Putusan Hakim yang bermasalah.

"Bagaimana caranya? KPK harus membuka posko pengaduan khusus korban putusan Hakim, untuk menggali infomasi, fakta dan bukti produk dari Hakim Pengadilan maupun Hakim Agung yang terindikasi korupsi melalui pertimbangan dan amar Putusan," kata Julius.

Baca juga : Konser Musik Terpaksa ‘Injak Rem’ Lagi

Julius mengusulkan KPK bisa menggali infomasi, fakta dan bukti dari seluruh pihak yang berperkara pada kasus yang pernah ditangani oleh Sudrajad Dimyati dan GS. Proses tersebut tetap perlu berkoordinasi dengan Badan Pengawasan MA dan Komisi Yudisial terkait perilaku mencurigakan si Hakim yang mengarah pada indikasi korupsi.

"Selain dapat dilakukan pengembangan pada dugaan kasus korupsi lainnya, terbuka juga peluang bagi para 'korban putusan' hakim korup, untuk mendapatkan bukti-bukti baru yang dapat dijadikan dasar bagi upaya hukum luar biasa, seperti Peninjauan Kembali," ujar Julius.

Sehingga, Julius menyebut ada peluang bagi para "korban putusan" Sudrajad Dimyati dan GS untuk diperiksa kembali kasusnya. Hal ini demi mendapatkan formulasi pertimbangan dan amar yang dapat merepresentasikan keadilan dan kemanfaatan.

"Dalam situasi sistem peradilan yang masih korup dan bobrok, maka perlu terobosan yang signifikan untuk menyikapi kondisi Putusan Hakim yang surplus kepastian hukum namun defisit keadilan dan kemanfaatan," tegas Julius.

Baca juga : 5 Buah yang Harus Dikonsumsi agar Tetap Terhidrasi

Sebelumnya, KPK telah menahan para tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA. Lembaga antirasuah ini menetapkan sebanyak 10 orang sebagai tersangka.

Enam di antaranya merupakan pejabat dan staf di MA. Mereka adalah Hakim Agung MA Sudrajad Dimyati (SD); Hakim Yudisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP); dua orang PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH); serta dua PNS MA, yaitu Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).

Empat tersangka lainnya, yakni dua pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES); serta dua pihak swasta/debitur koperasi simpan pinjam Intidana (ID), Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).

Baca juga : Pertamina, COP27 Menginspirasi Masyarakat Global Terhadap Penanganan Perubahan Iklim

Dalam kasus ini, Sudrajad diduga menerima sejumlah uang suap untuk memenangkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Semarang. Gugatan ini diajukan oleh dua debitur koperasi simpan pinjam Intidana (ID), yaitu Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto.

Selain itu, dikabarkan baru-baru ini KPK menciduk satu tersangka lagi sebagai pengembangan atas kasus penanganan perkara di MA. Namun KPK tak kunjung merilis penangkapan tersebut hingga Ahad siang ini. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement