REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Kedatangan Anies Baswedan di Medan menuai kritik dari Ketua Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) Sumatra Utara, Dedy Muritz W. Simanjuntak MACE, M.Th. Ia mengkritik kedatangan Anies ke Medan dan mengundang tokoh-tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama Kristen yang mengatasnamakan MUKI.
Mantan gubernur DKI Jakarta yang diusung menjadi bakal calon presiden dari Partai NasDem itu melakukan kunjungan ke Medan pada 4-5 November 2022. Dedy menyebut adanya pencatutan nama MUKI pada saat kedatangan Anies di Kota Medan.
"Saya mengecam pihak-pihak yang mengatasnamakan MUKI pada saat kedatangan Anies ke Medan," kata Deddy dalam keterangannya, Selasa (8/11/2022).
Ia menegaskan, sikap MUKI sudah sangat jelas yaitu tidak terlibat dalam semua aktifitas yang berkaitan dengan pencalonan Anies Baswedan. "Jika ada pihak tertentu yang mengatasnamakan MUKI, sudah bisa dipastikan itu bukan sikap MUKI yang sah dan resmi," sebut Dedy.
Suara lantang yang disampaikan Dedy bukan tanpa alasan. Deddy mengklaim, surat kecaman pencatutan yang mengatasnamakan MUKI tersebut sudah melalui kajian dan pembahasan yang mendalam dari internal MUKI.
Tujuan surat kecaman terhadap kedatangan Anies tersebut semata-mata untuk mengedukasi masyarakat Kristen di Sumut khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, agar dapat memilih calon pemimpin nasional yang mampu untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "MUKI menganut politik kebangsaan dan berdiri serta berjuang untuk keutuhan NKRI. Setelah kita mendengar masukan dari banyak pihak dan melihat dinamika Pilkada DKI 2017, kita putuskan untuk keluarkan surat aspirasi tersebut," kata Dedy.
Dedy menyebut kriteria pemimpin nasional mendatang versi MUKI sudah sangat jelas yaitu tidak diskriminatif, tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan suku, antar golongan, ras dan agama. Dan itu, kata dia, sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila.
"Pilkada DKI terakhir sudah menjadi bukti yang kuat terhadap politik identitas yang sudah dilakukan oleh Anies Baswedan. Kalau dia bilang itu tim suksesnya, tetapi dia kan bagian dari permainan itu dan bahkan dia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kita memaafkan Anies yang telah memainkan politik identitas, namun rekam jejak beliau sebagai politikus yang bermain pilitik identitas tak bisa dihapus," sebut Dedy.
Dedy memastikan MUKI tidak akan ikut dalam politik praktis dan tak berpihak kepada salah satu calon presiden yang akan maju di pilpres 2024 mendatang. Langkah yang dilakukan MUKI Sumatra Utara menurut Dedy hanya sekadar mengedukasi masyarakat agar dapat memilih calon pemimpin yang memiliki rekam jejak baik dan menghargai keberagaman yang ada di Indonesia.
Menurut dia wajar jika MUKI mengimbau masyarakat Sumut dan Indonesia untuk berhati-hati agar tidak memilih pemimpin nasional yang selalu memainkan politik identitas. "Dulu Anies menari di atas politik identitas di DKI Jakarta, namun jargon yang berbeda yang dimainkan olehnya sebagai tokoh pemersatu bangsa. Ini sangat paradoks. Orang yang memiliki nalar sehat pasti dapat membacanya sebagai permainan politik identitas," sebut Dedy.
Dedy mengingatkan kepada pemimpin umat Kristen di Sumatra Utara untuk tidak bermain-main dengan politik praktis. Ia meminta para pendeta untuk dapat fokus mengurus umatnya dengan baik. Jika ingin mendukung salah satu capres, menurut Dedy pendeta tersebut tak perlu ikut berpolitik praktis.
Dahulu, kata Dedy, gereja dan pemerintahan jadi satu, tetapi penyatuan tersebut menimbulkan masalah. Sehingga diambil keputusan untuk memisahkan antara iman dan kekuasaan.
"Kita mengingatkan pendeta untuk tidak berpolitik praktis agar tidak terjadi masalah di umat Kristen. Kalau pendetanya saja sudah berpolitik praktis pasti umat sudah terpolarisasi," ucap Dedy.
Lebih jauh Dedy menyebut pihaknya ingin menginginkan pendeta dan kereja untuk berdiri di tengah dan tidak memihak kepada salah satu calon yang terbukti menggunakan politik identitas. "MUKI menganjurkan masyarakat untuk memilih calon pemimpin Nasional yang nasionalis dengan memiliki visi Kebhinekaan," kata Dedy.