REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset dan Publikasi Pusham UII Despan Heryansyah angkat bicara mengenai pembentukkan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM). Ia menduga ada peluang tim PPHAM digunakan pelaku pelanggaran HAM agar mendapat impunitas.
Despan menyampaikan Kepres Tim penyelesaian kasus HAM Berat nonyudisial ibarat bermata dua dan memunculkan polemik. Pada satu sisi, Kepres itu dibutuhkan karena jalan yudisial sampai hari ini sulit dilakukan. Padahal ada banyak korban dan keluarganya yang hidup menanggung akibat baik secara sosial, politik, maupun ekonomi.
"Tapi pada sisi yang lain, ini bisa digunakan sebagai dasar oleh aktor tertentu untuk lari dari tanggungjawab yudisial, dengan dalih korban sudah mendapatkan haknya," kata Despan kepada Republika, Sabtu (1/10/2022).
Despan mendukung bila tim PPHAM berkomitmen meneruskan upaya yudisial terhadap pelanggaran HAM. Tim PPHAM mensinyalkan upaya yudisial dan non yudisial dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu.
"Maka tanggung jawab tim adalah memastikan dan menjelaskan kepada publik bahwa kepres Tim penyelesaian nonyusial ini sama sekali tidak menghambat apalagi menghilangkan jalan penyelesaian yudisial," ujar Despan.
Selain itu, Despan memandang semua kasus pelanggaran HAM sebetulnya sama pentingnya. Hanya saja, tim PPHAM bisa mempertimbangkan faktor tertentu ketika ingin memfokuskan satu kasus HAM ketimbang kasus HAM lain.
"Jika harus ada standar prioritas maka sebaiknya didahulukan dengan pertimbangan dari sisi korban, misalnya yang paling rentan secara politik, ekonomi, dan sosial, termasuk usianya," ujar Despan.
Despan juga menilai instrumen hukum tim PPHAM sudah cukup memadai. Sehingga diharapkan tim PPHAM dapat bekerja sesuai target yang diharapkan.
"Kepres sejatinya sudah cukup karena hanya menunjuk orang-orang yang mendapatkan tugas dan fungsi baru, yang dalam hukum administrasi memenuhi syarat konkret dan individual," ucap Despan.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu. Keppres ini diteken pada 26 Agustus 2022 lalu.
Tim PPAHM ini memiliki tugas untuk melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional HAM sampai 2020.
Tim PPAHM juga bertugas untuk merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya, serta merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM berat tidak kembali terulang di masa yang akan datang.
Tercatat sedikitnya ada 13 kasus pelanggaran HAM yang sampai saat ini masih ditangani Komnas HAM. Yaitu Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998, dan Kasus Paniai 2014.